sistem pemilikan tanah di pulau jawa

Pemerintahmenjadi pemilik semua tanah di Jawa dan orang Jawa menjadi penyewa tanah yang harus membayar sewa tanah. Bupati diubah dari bnagsawan pemilki tanah menjadi pegawai yang tebu dikelompokan atas tiga kelompok berdasarkan perkiraan kansungan gulanya.
Tanahnegara diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pertama, tanah-tanah Negara yang disebut dengan Negara bebas yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun.
Land and property can be owned in different ways, and by more than one person. When you buy a property, make sure you determine the type of ownership that will be stated in the land ownership is when land and property is owned by one ownershipWhen property is owned by two or more people, the ownership will be eithertenants in commonjoint tenancyThere are important legal differences between these two types of in commonThis type of joint ownership is often used where the buyers of the property are known to each other and they have pooled their funds to purchase the in commonhold a share of the property based on each person’s contributioncan request a separate certificate of title for each share of the property. This allows for the owner to outline in their will who will inherit their property tenantsThis type of joint ownership is commonly used by couples. When one owner dies, their partner becomes the owner of their interest in a tenants havean equal interest in the whole of the propertyone certificate of title is issued. Get a copy of your titleRequesting a copy of a certificate of title is called a 'Register search' on the South Australian Integrated Land Information System SAILIS.A certificate of title is an official record of land ownership. You might need this certificate for things such as development applications or applying for council approval for an addition to your property. Page last updated 22 June 2022 Provided by Department for Trade and Investment URL Copyright statement is licensed under a Creative Commons Attribution Licence. © Copyright 2023
\n\n\n\n sistem pemilikan tanah di pulau jawa
SwastanisasiPerkebunan Di Pulau Jawa Masyrullahushomad 1 Sudrajat 1 1 Afiliasi (Program Studi Pendidikan Sejarah Pascas arjana Universitas Negeri Yog yakarta , Jalan
SOLO, - Kerusuhan massa yang beberapa kali terjadi di Kota Solo potensial akan terulang di waktu mendatang, karena sistem pemilikan tanah yang dianggap tidak demokratis. Pemerintah setempat hendaknya lebih bijaksana di dalam penataan ruang wilayah menyangkut komposisi permukiman penduduknya. Hal itu mengemuka dalam diskusi Kota dalam Perspektif Budaya dan Tradisi yang diadakan Balai Soedjatmoko Solo, Sabtu 25/7. Tampil sebagai pembicara Drajat Tri Kartono, Muqoffa, Ahmad Norma Permata, dan KPH Suryanjari Puspaningrat. Ahmad Norma Permata dari Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta menyebutkan, dalam penelitian yang dia lakukan pada 2004 dari hasil wawancaranya dengan kalangan militer, pengusaha, pedagang, artis, dan warga awam, ditemukan fakta kerusuhan massa yang diwarnai konflik etnis seperti yang terjadi pada Mei 1998 potensial akan terulang. "Membandingkan dengan di Yogyakarta kenapa tidak terjadi kerusuhan serupa di sana salah satunya ternyata menyangkut sistem kepemilikan tanah yang berbeda," tuturnya. Di Yogyakarta, sejak lama diterapkan peraturan pemerintah untuk etnis tertentu tidak diperbolehkan mendapatkan sertifikat hak milik. "Kepada mereka hanya diizinkan mendapat hak pakai yang berlaku 20 tahun. Sebaliknya di Solo, etnis yang sama bebas mendapatkan sertifikat hak milik," kata Ahmad Norma seraya menambahkan, itu bisa menimbulkan rasa ketidakadilan sosial. Banyak warga pribumi yang terpaksa membagi tanah miliknya untuk anak-anaknya, atau menjual kepada pihak lain. Tanah-tanah ini banyak yang beralih tangan ke warga etnik yang dia sebutkan tadi, sementara warga pribumi terpaksa berpindah ke pinggiran kota. Menurut Norma, ini bersifat alamiah karena kota hanya untuk mereka yang kuat bersaing alias survival of the penelitian di beberapa kampung di Solo, pada tahun 1980-an komposisi warganya 70 persen pribumi dan 30 persen nonpribumi, tetapi pada tahun 2000-an berubah menjadi 60 banding 40. Ny Yogyanti Sosrosuwarno 80, warga Kampung Kepatihan, membenarkan sinyalemen tersebut. Ia mengaku sulit menerima perubahan di lingkungannya. Dahulu banyak rumah berhalaman luas dan terbuka dengan pagar dari tanaman. "Sekarang banyak yang beralih tangan dan dibangun dengan pagar tertutup setinggi lima meter," tuturnya. Menurut Norma, untuk menghindarkan rasa ketidakadilan di masyarakat ini, pemerintah harus menerapkan prinsip demokrasi, yaitu meniadakan kekuatan yang dominan. Sikap saling tergantung di antara warga harus diciptakan, sedang berbagai elemen kepentingan disatukan untuk membangun kota agar tetap utuh. Dalam pandangan Drajat Tri Kartono, pengajar Program Pascasarjana Sosiologi Universitas Sebelas Maret Solo, Kota Solo perlu membangun sebuah pusat produksi budaya tetapi bukan pusat kesenian. Dalam pusat produksi budaya ini jangan sampai melahirkan reproduksi budaya yang tidak berdasar way of life atau yang bersifat bendawi karena akan mudah hilang. Menurut dia, pembangunan kota-kota besar yang cenderung pada konsep arsitektur gigantisme dengan gedung-gedung tinggi, pada gilirannya menghilangkan kontrol bagi warganya terhadap ruang pembicara setuju bahwa arah pembangunan kota harus didasarkan pada prinsip-prinsip budaya. Tetapi, Suhendro 84 seorang warga, mengaku telah kehilangan Solo. "Solo yang dahulu telah hilang. Solo tidak ada bedanya dengan kota lain. Banyak jalan di suatu wilayah namanya diganti secara semena-mena tanpa mengindahkan latar belakang sejarahnya," ujarnya. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
ReformaAgraria untuk Kesejahteraan Rakyat, Success Story Kebijakan Reforma Agraria di Desa Mangkit, Kec. Belang, Kab. Minahasa Tenggara. Halo #SobATRBPN, Kebijakan Reforma Agraria tidak hanya berhenti pada pemberian legalisasi aset hak atas tanah, namun juga mencakup pemberian kesempatan akses permodalaan maupun bantuan lain kepada subyek reforma agraria dalam rangka peningkatan pendapatan
ArticlePDF Available AbstractAbstrak Abad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesarbesarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kolonial. Abstract In 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash crops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their society. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 386Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSTRUKTUR SOSIAL, POLITIK, DAN PEMILIKAN TANAH DI PRIANGAN ABAD KE-19Oleh Mumuh Muhsin Sejarah Fakultas Sastra Universitas PadjadjaranJl. Raya Bandung-Sumedang km. 21 Jatinangoremail mumuhmz diterima 15 Juni 2011 Naskah disetujui 4 Juli 2011AbstrakAbad ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan momen penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Guna mengoptimalkan pencapaian target-targetnya, pemerintah kolonial melakukan rekayasa tatanan sosial dan politik masyarakat pribumi. Pola rekayasa sosial politik yang dilakukannya tidak selalu tetap. Perubahan selalu dilakukan atas nama dan demi kepentingan pemerintah kolonial yakni mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bagi kesejahteraan negeri induknya, Kerajaan Belanda. Mobiltas sosial terjadi semakin dinamis, baik yang bersifat vertikal maupun yang horizontal. Hal itu terjadi terutama setelah dibuka peluang bagi pribumi untuk memasuki sekolah. Munculnya elit baru hasil dari sistem pendidikan ini berefek pada perubahan-perubahan sosial. Satu sisi ketidakmungkinan kelompok sosial menengah priyai rendah masuk birokrasi pemerintah berakhir sudah. Pola rekruitmen pegawai pemerintah bukan lagi didasarkan pada faktor “darah” geneologis, tapi faktor kemampuan dan prestasi yang direpresentasikan dalam bentuk ijazah. Sisi lain, secara kuantitas muncul elit-elit baru di tengah-tengah masyarakat. Artinya juga, konsekuensi dari perubahan sosial seperti itu, kekuatan politik yang semula hanya terpusat pada elit tradisional mengalami pemudaran karena semakin terbagi dengan elit-elit baru. Tidak hanya terhadap aspek sosial dan politik penduduk pribumi, tetapi pengaturan-pengaturan mengenai tataguna tanah pun senantiasa dilakukan. Tanah sebagai faktor produksi yang cukup penting mesti direkayasa sedemikian rupa demi kepentingan pemerintah kolonial. Kombinasi dari politisasi aspek sosial, politik, dan pertanahan tak pelak lagi telah menguntungkan pemerintah kunci Priangan, sosial, politik, 19th century, Priangan – and Java in general – faced an intensive colonial penetration. The Dutch colonial government forced people to cultivate some crash Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3872011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungcrops which were highly demanded in international market, such as nila Indigofera L, quinine Chincona spp., tea Camellia sinensis and coffee Coffea. The colonial government constructed social and political structue among native Indonesians in order to gain their goals and targets. Land, as an important factor of productions had to be reformed for the sake of the colonial government. Land reform was established, allowing new elites to emerge. These new elites had changed traditional social structure, making traditional elites less powerful among their Priangan, social, political, landPENDAHULUANA. Pada abad ke-19 hubungan antara kekuasaan tradisional pribumi dan kekuasaan Kolonial Belanda menunjukkan dua gejala yang bertolak belakang. Di satu pihak kekuasaan kolonial makin meluas, di lain pihak kekuasaan pribumi makin melemah. Hubungan dengan kekuasaan kolonial ini berpengaruh terhadap berbagai segi kehidupan. Dalam bidang politik, pengaruh Belanda makin kuat karena intervensi yang intensif dalam persoalan-persoalan intern kekuasaan pribumi seperti dalam masalah suksesi, promosi, mutasi, dan rotasi pejabat. Dalam bidang ini, penguasa-penguasa tradisional makin bergantung pada kekuasaan asing sehingga kebebasan dalam menentukan soal-soal pemerintahan makin melemah. Dalam bidang sosial-ekonomi kontak dengan Barat berakibat melemahnya kedudukan kepala-kepala daerah dan pemimpin-pemimpin tradisional. Kekuasaan mereka berangsur berkurang dan ditempatkan di bawah pengawasan pejabat-pejabat asing sedangkan tenaga mereka dilibatkan dalam sistem eksploitasi ekonomi kolonial. Di Priangan faktor-faktor produksi pertanian, baik menyangkut tanah maupun tenaga kerja, diatur sedemikian rupa untuk kepentingan kolonial. Para petani dibebani tugas mengolah sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman-tanaman ekspor dan diharuskan menyumbangkan tenaganya secara paksa pada penguasa kolonial. Dalam bidang budaya, abad ke-19 merupakan momentum makin meluasnya pengaruh kehidupan Barat dalam lingkungan kehidupan tradisional. Tulisan ini memfokuskan kajian pada tiga aspek, yaitu aspek sosial, politik, dan pertanahan. Ketiga aspek ini menjadi instrumen handal bagi pemerintah kolonial mengeruk keuntungan HASIL DAN BAHASANStruktur Sosial dan Politik 1. Secara umum terdapat tiga level masyarakat Priangan, yaitu menak sebagai kelas sosial paling tinggi, kemudian diikuti santana sebagai kelas menengah, dan somahan sebagai kelas bawah. Ada tiga kriteria yang dapat menentukan posisi seseorang dalam masyarakat saat itu. Pertama adalah faktor keturunan atau hubungan darah seseorang dengan penguasa. Kedua, posisi seseorang dalam birokrasi pemerintah. Seseorang yang memiliki satu karakteristik atau kedua-duanya, dia termasuk kelompok menak elite. Ketiga, kepemilikan seseorang terhadap tanah, yang kadang- 388Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkadang atau bahkan kebanyakan dari mereka, berkorelasi dengan posisinya dalam struktur birokrasi. Orang di luar kelompok menak dan santana dianggap sebagai orang kebanyakan commoners.Sebelum VOC be r k u a s a atas Priangan, struktur masyarakat Priangan terdiri atas kelas sebagai berikut. Struktur sosial paling atas adalah bupati, sebagai menak paling tinggi, dan keluarga bupati merupakan kelas yang tinggi juga. Kemudian diikuti pejabat-pejabat kabupaten, yang biasanya merupakan klien personal atau kerabat bupati. Termasuk dalam kelas ini adalah pejabat militer, sipil, agama, dan pengadilan. Mereka dikategorikan sebagai santana atau kadang-kadang disebut juga menak rendah. Kelompok pejabat ini terdiri atas orang-orang yang memiliki hubungan kekeluargaan, bakat dan kemampuan, atau kesetiaan kepada penguasa bupati. Pada periode yang kemudian, terutama setelah Pemerintah Kolonial memperkenalkan lembaga-lembaga pendidikan, stratikasi sosial tidak lagi sekadar karena keturunan tapi ditentukan oleh fungsi dan pekerjaan. Kedua faktor ini, pendidikan dan pekerjaan, cenderung mengimbangi dominasi kelas menak di tengah masyarakat. Di antara orang Priangan, anggota keluarga menak atas yang memiliki akses sangat terbuka pada pendidikan Barat. Namun, keluarga menak rendah santana, karena jumlah anggota keluarganya yang lebih banyak, mungkin mayoritas dari merekalah yang secara riil memperoleh pendidikan ini. Pada permulaannya, Kompeni melindungi pola otoritas tradisional dengan tujuan menjadikannya sebagai alat untuk memperlancar dan mempercepat proses produksi tanaman ekspor. Selain itu, kebijakan ini pun dinilai dapat mengamankan penyerahan produksi. Selanjutnya Kompeni menciptakan ikatan kontraktual dengan elit tradisional. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan tereduksinya posisi bupati yang memiliki ketergantungan secara ekonomi kepada Kompeni. Pengambilalihan Priangan oleh Pemerintah Belanda dari Kompeni pada permulaan abad ke-19 berarti implementasi standar-standar administratif baru dalam wilayah ini sesuai dengan sistem hukum baru pula. Inovasi penting dalam organisasi politik yang diterapkan pemerintah kolonial adalah distribusi kekuasaan politik di antara pengawas-pengawas Belanda yang mengontrol prestasi bupati dan bawahannya. Perubahan ini berimplikasi pada perlunya membagi wilayah ke dalam bagian-bagian sik yang konkret, yang kemudian disebut keresidenan. Bupati ditempatkan di bawah kekuasaan residen. Bupati berubah menjadi pejabat dengan beberapa keterbatasan dan menjadi subordinat atas superioritas pejabat Belanda Kartodirdjo, 1984 134. Hal ini berakibat meningkatnya jumlah pejabat-pejabat Belanda, meskipun secara umum tetap terbatas. Pada tahun 1860 total jumlah pejabat Belanda yang tinggal di Priangan sebanyak 38 orang, dipimpin oleh residen yang tinggal di Bandung, tiga orang asisten residen di ibu-ibu kota kabupaten, dan sembilan inspektur tanaman. Seluruh sistem tanaman kopi diatur oleh 12 orang Eropa Svensson, 1992 109.Selain itu, tampilan administrasi pemerintah telah meningkatkan tuntutan yang besar untuk birokrasi. Dalam periode yang relatif singkat terbuka kesempatan bagi orang-orang non-menak atau santana untuk memasuki Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3892011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungbirokrasi pemerintahan. Pada tahun 1860, misalnya, tercipta kesempatan yang besar untuk bergabung dalam birokrasi di Priangan. Mengitari lima bupati terdapat pejabat yang memimpin wilayah. Mereka itu terdiri atas 73 kepala kacutakan district yang disebut wedana, kepala terup under-district yang disebut pattinggi, kepala desa yang disebut lurah, dan pegawai rendah di kampung. Selain itu, terdapat pejabat lain dalam posisi yang berbeda beberapa di antaranya yang terlibat dalam pengerjaan tanaman kopi, penyerahan kopi, yang bertanggung jawab mengorganisasi pekerja/buruh, atau yang menangani pengumpulan pajak, transportasi, polisi, dan yudisial. Selain itu terdapat juga pejabat-pejabat yang menangani urusan agama. Jumlah mereka sebanyak orang. Kesemuanya bertanggung jawab kepada bupati. Mereka itu terdiri atas 5 orang kepala penghulu, 6 orang kepala khalifah atau naib, 72 orang penghulu distrik, 99 orang khalifah atau naib distrik, orang lebe, 830 khatib, imam, modin, merbot, bilal, dan 73 amil zakat Van Rees, 1869; Svensson, 1992 110; Pijper, 1977.Pada tahun 1870 Pemerintah Kolonial mereorganisasi administrasi pemerintah pribumi berhubungan dengan prinsip-prinsip esiensi dan efektivitas pemerintahan. Untuk tujuan-tujuan itu, struktur administrasi baru diciptakan. Pemerintah Kolonial mengurangi jumlah pegawai pribumi dalam birokrasi pemerintah, baik pegawai sekular maupun pegawai agama. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 10 Oktober 1870 dan dibukukan dalam Staatsblad tahun 1870 nomor 124 diputuskan bahwa jumlah pejabat pribumi dalam birokrasi pemerintah sebanyak orang dengan rincian sebagai berikut 5 bupati, 9 patih termasuk patih afdeling, 5 mantri kabupaten, 1 hoffddjaksa, 1 adjunct-hoofddjaksa, 8 jaksa, 8 adjunct-djaksa, 5 hoofd-penghulu, 4 penghulu, 63 wedana hoofd-district, 150 asistan wedana hoofd-onderdistrict, 9 onder-collecteur, 50 mantri pengairan, 82 juru tulis, dan 625 upas. Keputusan itu tidak menutup kemungkinan mengangkat orang lain sebagai pegawai sejauh bupati punya kesanggupan menggajinya Lubis , 1998 40. Tidak hanya dalam jumlah, tapi juga dalam hak dan kewenangan pegawai pribumi dikurangi oleh Pemerintah Kolonial. Bupati dan pegawai bawahannya telah kehilangan posisi supremasinya. Kelompok pegawai secara formal ditransformasikan ke dalam korps birokrasi profesional, pamongpraja, yang dipekerjakan oleh negara dengan gaji dan pola promosi yang IGAJI BUPATI DI KERESIDENAN PRIANGAN PER TAHUN 1871-1895BUPATI GAJI f.TUNJANGAN f.PERSENTASE PENYERAHAN PRODUKSI KOPI f.Cianjur - - 390Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungSumber Henry Charles van Meerten. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Groun, hlm. jumlah persentase itu sesuai dengan perbedaan hasil panen kopi di tiap kabupaten. Sementara itu, gaji untuk pejabat-pejabat di bawah bupati tampak dalam tabel IIGAJI PARA PEJABAT KABUPATENDI KERESIDENAN PRIANGANTAHUN 1871-1895PEGAWAI GAJI PER BULAN f.Patih 250Wedana 200Ondercollector 150 – 200Jaksa 150Hoofdpenghulu 135Assistant Wedana 100Mantri 25Juru tulis 15Sumber Martanegara. 1923. Babad Raden Adipati Aria Martanegara. Bandung Aoerora, p. ukuran kekuasaan pun tampak pada pejabat pengawasan supervision Pemerintah Kolonial pada semua level pejabat pribumi. Bupati, dan wakil patih ditempatkan di bawah pengawasan Residen Priangan yang berkedudukan di Bandung. Delapan asisten residen serta stafnya ditempatkan di wilayah-wilayah berpopulasi besar. Sepuluh orang kontroleur Belanda, dan kemudian juga sejumlah onder-controleurs, ditempatkan untuk mengawasi wedana dan camat Svensson, 1992 116. Sebaliknya, penguatan pegawai bumiputera yang paling bawah diciptakan. Urusan-urusan desa yang sebelumnya ditangani oleh wedana atau camat diambil alih oleh komunitas desa bentukan baru yang didisain mengikuti model di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tiap desa, yang disusun oleh 3-5 kampung, diberi otonomi untuk mengurus persoalan internalnya sendiri yang dipimpin oleh lurah. Lurah diberi hak untuk menarik pajak dan pelayanan untuk kepentingan desa, memelihara hubungan dengan tingkat administrasi yang lebih dari sisi agama, Priangan merupakan keresidenan yang penduduknya sangat ketat dalam mengamalkan ajaran agama Islam. Kewajiban-kewajiban Islam dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Islam sebagai agama resmi memberikan struktur moral bagi kehidupan sosial dan memainkan peran penting dalam kehidupan orang Sunda. Salah satu indikatornya adalah jumlah orang Priangan yang menunaikan kewajiban ibadah haji. Pada tahun 1876 – 1888 jumlah jamaah haji dari Priangan jauh lebih banyak dibandingkan dengan keresidenan lain di Pulau Jawa. Jumlah jamaah haji dari Priangan adalah orang atau 22,1%. Jamaah haji secara keseluruhan dari Jawa pada periode tersebut adalah sebanyak orang Svensson, 1983 116. Selain menjadi indikator ekonomi, haji pun menjadi simbol “ketaatan“ beragama. Penguasa-penguasa Priangan sering menunjuk kerabatnya bukan untuk menduduki posisi di pamongpraja, tapi pada posisi berpengaruh dalam jabatan-jabatan keagamaan, seperti korp penghulu dan pelayan masjid Palmer, 1959 50. Selanjutnya di Priangan pejabat keagamaan memiliki peran penting dalam struktur pemerintahan pribumi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3912011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungPenghulu, pejabat tertinggi keagamaan, banyak diisi oleh kerabat bupati. Mereka adalah pemimpin sejumlah besar rakyat. Pertangungjawaban mereka sering melampaui persoalan keagamaan; mereka sering menangani persoalan hukum bersama-sama dengan polisi dan jaksa. Pejabat rendah keagamaan, seperti lebe, amil, khatib, imam memiliki hubungan yang dekat dengan penduduk desa. Hampir semua siklus kehidupan memiliki hubungan dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai keagamaan. Mulai dari peristiwa kelahiran, pernikahan, kematian hingga budaya pengurusan padi dan ritus kesuburan tanah dan tanaman, pejabat-pejabat keagamaan memiliki peran penting. Mereka juga mengawasi dan mengatur manajemen irigasi dalam mengairi sawah. Kontrol irigasi melegitimasi “kewajiban” keagama an dan membuat nya mudah dalam menetapkan besaran pemungutan zakat tanaman padi dan zakat fitrah. Svensson, 1992 111. Pada tahu 1870 pejabat keagamaan dicabut dari posisi strategisnya dalam pertanian. Mereka tidak boleh ikut campur terhadap masalah kehidupan keduniaan penduduk, seperti irigasi dan penanaman di luar pegawai pemerintah disebut somah commoners, yang kebanyakan dari mereka adalah petani. Mereka terdiri atas dua kelompok utama. Pertama adalah pribumi atau sederhananya disebut bumi. Bumi adalah penduduk inti kerndorpers yang merupakan orang pertama yang menduduki lahan, pemilik tanah yang mereka buka. Mereka juga memiliki rumah dan halamannya. Mereka memiliki hak waris atas tanah, yang secara prinsip dapat dibeli atau dijual. Tanah yang mereka miliki membuat mereka berkewajiban membayar pajak, mengerahkan buruh corvee-labour, dan menyerahkan kopi. Kelompok kedua adalah rumah tangga tidak memiliki tanah landless households. Mereka terdiri atas empat jenis yang berbeda. Pertama, manumpang, yang hanya memiliki rumah dan halamannya, tapi tidak memiliki tanah sawah atau kebun. Mereka bergantung pada rumah tangga bumi, bekerja sebagai penyewa tenants, bagi-hasil sharecroppers, atau sederhananya sebagai buruh tanam. Manumpang bisa menjadi bumi ketika mereka, berkat kerja kerasnya, memiliki tanah sendiri. Kedua, rahayat yan g dihubungkan dengan pelayanan kepada berbagai menak, tapi biasanya juga kepada rumah tangga bumi. Di samping berbagai pelayanan, mereka menanam tanah pemilik patronnya secara bagi-hasil. Ketiga, kostangers, orang yang memiliki rumah di tanah menak atau bumi. Mereka bekerja untuk pemilik tanah yang sering juga disebut juragan baas atau huisvester. Keempat, bujang orang yang merupakan buruh bebas yang mendapatkan kehidupannya dengan bekerja serabutan di berbagai bidang pertanian, pengangkutan, dan lain-lain. Yang penting bagi mereka adalah mendapatkan upah. Selain itu, terdapat sekelompok kecil pedagang small group of petty trader, yang sekaligus juga sebagai rumah tangga petani, artisan yang tinggal terutama di dekat perkampungan yang besar Van Vollenhoven, 1918 706-707; Svensson, 1992 112; Lubis, 1998 137.Pemilikan dan Penggunaan Tanah2. Desa memiliki dua sumber natural, yaitu tanah dan orang yang membuat tanah itu produktif. Bagi penduduk petani, 392Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah adalah segalanya. Tidak hanya memiliki nilai ekonomi, di mana tanah bisa ditanami berbagai jenis tanaman baik subsisten maupun komersial, tapi juga memiliki nilai kultural dan bahkan nilai sakralitas yang tinggi. Di sanalah mereka dilahirkan, dibesarkan, dan di tempat yang sama mereka ingin dikuburkan, tidak jauh dari pekuburan leluhur mereka. Bagi masyarakat petani, tana h pun meru pakan sumber utama produksi dan kesejahteraan. Oleh karena itu, pemilikan tanah membuat seseorang menempati prestise dan stratikasi sosial tinggi, dan pertanyaan bisa diajukan berkait dengan persoalan tanah di pedesaan Jawa pada abad ke-19, sehingga mengundang debat di antara para peneliti. Pokok perdebatan tentang hak atas tanah di Jawa adalah apakah pemilikan tanah itu terletak pada penguasa, atau pada badan pemilik yang mengumpulkan pajak dan menentukan kegunaan tanah, atau pada badan korporasi seperti dusun kecil hamlet atau desa village, atau pada individu petani penanam. Selain itu, ada persoalan lain seperti apakah pemilikan tanah di Jawa itu bersifat individual atau komunal; dan apakah pemilikan tanah dihubungkan dengan kewajiban buruh, corvee. Meskipun semua itu merupakan persoal a n pe n t i n g y a n g m e n u n t u t penjelasan, namun yang akan diberi perhatian khusus dalam tulisan ini adalah tentang persoalan hak atas tanah pada abad ke-19 di Jawa umumnya dan di Priangan khususnya. Beberapa peneliti yang memberi perhatian terhadap persoalan ini di antaranya adalah Bergsma 1876, 1880, 1896, Rouffaer 1899-1905, 1918, C. Th. van Deventer, Van den Berg 1891, C. van Vollenhoven 1919, Robert van Niel 1992, dan Peter Boomgaard 1989. Nyatanya, tidak ada pandangan yang disepakati secara umum tentang masalah abad ke-19, tidak jelas konsep pemilikan tanah di Jawa. Lebih dari itu, sebelum tahun 1860 tidak ada yang sungguh-sungguh diketahui tentang hak orang terhadap tanahnya van Vollenhoven. 1919 48. Hak atas tanah merupakan subjek yang sangat kompleks karena terdapat variasi regional dan te r d a p a t n y a problem terminologi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, sesungguhnya, agak sulit menyederhanakan formulasi tentang sist e m pe m i l ikan tanah di se l uruh Jawa. Kesulitan itu muncul karena ada sejumlah variasi dalam model pemilikan tanah, yang merefleksikan keragaman penekanan dan beragamnya model-model lokal. Juga sering terjadi perubahan di tempat yang sama pada waktu yang berbeda. Oleh karena itu, adalah logis bila ditemukan beragam ilustrasi pada model pemilikan tanah yang digambarkan oleh administrasi kolonial dan para peneliti. Di beberapa wilayah, pembagian tanah ter j adi dari tah u n ke tahun kare n a penanam yang sama; pada sisi lain, pembagian tanah berotasi di antara penduduk desa berdasarkan aturan yang jelas, sehingga masing-masing dapat memiliki bagian tanah yang baik dan jelek; di wilayah lain lagi, ada alternatif dalam pembagian tanah, sehingga seorang penanam cultivator mungkin memiliki akses atas tanah pada satu tahun, tapi kehilangan tanah pada tahun berikutnya karena beralih kepada orang lain. Ditemukan juga di beberapa tempat pemilik tanah mendapatkan pembagian Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3932011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah yang lebih luas dan berkualitas daripada yang lainnya. Di tempat lain, tanah dibagi secara rata di antara mereka yang berhak mendapatkannya. Di beberapa tempat lagi, pejabat desa mendapatkan jumlah tanah yang luas yang penggarapannya diserahkan kepada penduduk desa melalui sistem bagi hasil; di tempat lainnya petani dapat menjual tanahnya Elson, 1994 18-19. Ketidaksamaan pemilikan tanah dan variasi model pengalihan hak atas tanah mendorong peneliti untuk membagi masyarakat desa dalam beberapa kelas, yang secara umum terdiri atas dua kelompok, yaitu pendiri desa, kepala keluarga, atau mereka yang mendapatkan haknya atas tanah, dan mereka yang bergantung pada mereka. Yang pertama adalah pemilik tanah, mereka dikenakan pajak dan pelayanan, dan yang kedua orang-orang membantu mereka Elson, 1994 167. Dalam ide yang sama, Van den Bosch menyatakan bahwa pemilikan tanah merupakan hak kelompok tertentu dari penduduk desa itu, dan dibagi secara tidak merata, sementara itu ada kelompok penduduk yang lain dikeluarkan dari seluruh kep emi lik an dan bebas dar i pemilik s um s i y a ng p al i ng k ua t didasarkan pada sumber tradisi, bahwa semua tanah milik penguasa. Sumber tradisional abad ke-16, naskah Carita Parahiyangan, misalnya, secara implisit menekankan bahwa semua tanah milik penguasa dan kerabatnya. Rakyat hanya memiliki hak guna atas tanah. Sebagai kompensasinya, mereka diwajibkan tiap tahunnya menyerahkan persembahan baik dalam bentuk barang atau dalam pentuk pelayanan. Meskipun tidak ada data rinci tentang hak atas tanah pada periode selanjutnya, namun ada kesan bahwa pada masa yang selanjutnya petani penanam yang secara aktual mengarap tanah dapat mengalihkan hak guna atas tanah itu kepada orang lain, biasanya kepada ahli warisnya. Realitas semacam itu menjadi alasan bagi peneliti Belanda menyatakan hukum adat Indonesia sampai pada asumsi bahwa di Priangan tanah merupakan hak milik individu yang bisa diwariskan individual hereditary right. Meskipun asumsi bahwa penguasa adalah pemilik sejati atas semua tanah adalah semata-mata bersifat teoretis, tapi yang jauh lebih penting adalah fakta bahwa penguasa berhak atas bagian dari hasil tanah, baik dalam bentuk uang, barang, atau tenaga. Sumber utama pendapatan penguasa datang dari tanah yang ditanami. Singkatnya, dikatakan bahw a pen guasa meru pakan pemi lik semua tanah yang darinya ia memperolah hasilnya dan pelayanan tenaga kerja. Mengidentifikasi pemilikan atas tanah dianggap penting pada pertengahan abad ke-19 ketika kapitalisme Belanda mengembangkan tahap di mana industrialisasi dapat dikerjakan di tanah jajahan. Fisibilitas itu sebagian didukung oleh pasar dunia atas produk-produk daerah tropis yang mengalami booming, sehingga di Negeri Belanda muncul tekanan dari kelompok Liberal untuk menghapuskan sistem lama. Manajemen kolonial konservatif yang berlaku sepanjang Sistem Tanam Paksa diganti dengan kolonisasi Jawa oleh penanam swasta private planters, yaitu mengubah kebijakan kolonial dengan menempatkan perkebunan swasta sebagai inti manajemen atas Jawa. Kelompok Liberal menuntut aturan hukum dalam kebijakan tanah, sehingga penanam swasta diberi 394Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungkebebasan menggunakan tanah diakui sebagai pemilik tanah, penggarap tanah orang pribumi bisa menjual atau menyewakannya, dan di tanah milik negara atau tanah liar pengusaha swasta diizikan untuk menggunakannya dalam waktu yang cukup lama dengan cara menyewa erfpacht. Kelompok Konservatif menolak usulan itu dengan beberapa alasan hak orang Indonesia atas tanah adalah di bawah pribumi, komunal dan hukum adat, sehingga tidak cocok digunakan konsep pemilikan seperti dipahami di Barat modern Kano, 1977 4-5. Untuk mengakhiri kontroversi itu dan melahirkan kebijakan yang memuaskan kedua pihak, Liberal dan Konservatif, dianggap perlu meneliti dan menemukan hak yang benar yang secara aktual dipraktikkan oleh orang Indonesia atas tanahnya1 Berdasarkan hasil survey itu beberapa informasi tentang bentuk penggunaan tanah yang dapat ditanami arable land dan pemilikannya dapat jelas diketahui. Tanah yang dapat ditanami terdiri atas dua bagian sawah paddy elds dan ladang dry elds; sedangkan yang berkait dengan kepemilikan, sawah terdiri atas tiga bentuk, yaitu milik individu yang bisa diwariskan heritable individual possession, erfelijk individueel bezit, milik komunal communal possession, gemeen bezit, dan tanah jabatan salary fields for officials, ambtsvelden; sementara tanah kering 1 Survey ini dilakukan atas perintah Raja yang dituangkan dalam the King’s Proclamation of 1866 kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang bertururt-turut dikeluarkan dua undang-undang East India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. Bentuk pertama, pemilikan sawah, adalah pemilikan individual yang bisa diwariskan, yaitu bentuk tanah di mana individu tertentu menggarapnya secara terus-menerus; ia dapat memindahtangankan tanah itu kepada ahli warisnya atau kepada orang lain. Prinsipnya adalah semua anak memiliki hak atas sebagian tanah itu sebagai warisan, sehingga dengan demikian tanah bisa terbagi-bagi menjadi sangat sempit extremely small parcels Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Sangat tipikal, tanah itu dapat dengan bebas pindah kepemilikan baik karena dijual, disewakan, atau digadaikan. Istilah pribumi atas tanah yang dapat disewakan heritable individual possession adalah dalam bahasa Jawa umumnya disebut jasa. Di Jawa Barat, khususnya Priangan disebut Jasa mengacu pada hak yang diperoleh karena jasa. Dengan kata lain, istilah jasa mencakup tiga konsep pengerjaan membuka tanah liar laboring to clear waste land, pihak yang secara aktual mengontrol dan menggarap tanah, dan hak penggarap atas tanah dengan tanpa pemisahan makna di antara kedua hal itu. Sementara itu, istilah milik berarti lebih dekat dengan konsep modern tentang pemilikan. Dalam beberapa kasus, pemilik adalah orang yang secara aktual membuka tanah untuk ditanami. Tanah itu dimiliki 2 Dalam bahasa Jawa, jasa secara etimologis berarti ”everything that is obtained by the effort of individuals who bring waste land under cultivation“; sementara milik, berasal dari bahasa Arab milk, dalam bahasa Sunda digunakan dalam pengertian “to possess”, atau “to be made one’s own”, lihat Eindresume II, hal. 44.; Hiroyoshi Kano, op. cit., hal. 12.dry elds hampir selalu dianggap milik pribadi. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3952011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungoleh orang yang membukanya. Jadi, pemilikan individu yang bisa diwariskan the heritable individual possession adalah hanya hak pemilik atas tanah didasarkan atas kontrol aktual. Model kepemilikan individual seperti itu sudah lama berlangsung di Priangan. Pemilik tanah individual dapat menggarap sendiri tanahnya, atau menyewakannya kepada orang lain secara bagi hasil Boomgaard & van Zanden. 1990 22.Dari total 105 desa yang disurvey di Priangan, 101 desa di antaranya atau 96% merupakan tanah sawah yang merupakan hak milik. Bila dibandingkan dengan keresidenan lain di Jawa, pada saat yang sama, di Keresidenan Semarang total sawah milik individu hanya 10% dan di Keresidenan Surabaya adalah 39%. 3 Menarik diketahui alasan mengapa di Priangan hak individu atas tanah sangat dominan. Apakah karena pengaruh Islam yang cukup kuat. Bukan tempatnya di sini untuk mengeksplorasi apakah hak individu yang dominan di Priangan memiliki kaitan dengan kuatnya pengaruh Islam. Namun demikian, secara singkat dapat dikatakan bahwa jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara hak penguasa lokal atas tanah dan atas upeti sudah terbangun, dan hak atas tanah diabadikan dalam bentuk yang lebih kuat. Di bagian lain di Nusantara, termasuk Priangan, pengaruh Islam lebih kuat dan dapat menjadi instrumen dalam perluasan hak individual Einsresume II 44-45.Bentuk yang kedua, pemilikan secara komunal, adalah bentuk di mana seorang individu menggunakan tanah tertentu yang hanya bagian tanah komunal desa, sehingga individu tidak berhak memindahtangankan tanah itu. 3 Dihitung dari Eindresume I, bijlage pemilikan ini memiliki dua tipe, distribusi periodik dan non-periodik. Distribusi periodik adalah kepala desa dapat mendistribusikan tanah itu tiap tahun di antara penduduk desa yang berhak mendapat bagian tanah itu. Distribusi non-periodik adalah tanah yang dimiliki secara komunal dapat juga dikuasai di bawah sistem pembagian yang ditetapkan, tapi pemilik tidak dapat menjual atau memberikannya kepada pihak lain Boomgaard & van Zanden, 1990. Dari total desa di Priangan yang disurvey, tidak ada sama sekali tanah komunal,4 sedangkan di Semarang dan Surabaya terdapat 90% dan 70% tanah Jenis pemilikan komunal ini merupakan bentuk umum yang berlaku di Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur. Di Jawa Tengah pemilikan semacam ini ada dua jenis, yaitu di keresidenan sebelah timur umumnya tanah komunal periodik, sedangkan di keresidenan sebelah barat umumnya tanah komunal yang ditetapkan xed Boomgaard & van Zanden, 1990 20. Di beberapa daerah di Jawa Tengah bagian selatan sistem yang khusus berlaku, karena, pertama semua tanah miliki penguasa sultan dan sunan, yang selama berabad-abad memberikan garapan tanah, apanage, kepada pegawai dan kerabatnya; kedua, petani kehilangan hak permanen dan hanya menggarap tanah penguasa berdasarkan peraturan share-cropping, dan pengawasan serta pengumpul hasil 4 Di tempat lain di Jawa Barat, terutama di daerah yang berbatasan dengan Jawa Tengah, jenis tanah komunal terdapat juga, seperti di Ciamis, Kuningan, Cire-bon, Indramayu, dan Majalengka; lihat Edi S. Ekadjati, 1995 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. 396Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungpanen langsung dilakukan oleh pihak penguasa Svensson, 1983 85. Komunalisasi tanah secara sistematis mendapat perhatian Pemerintah Kolonial karena berkaitan dengan kewajiban-kewajiban yang melekat pada penggarap tanah. Penggarap aktual atas tanah memiliki kewajiban untuk menyerahkan pajak dan pelayanan. Pada masa pemerintahan Interregnum Inggris, dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda, ide bahwa sawah adalah milik komunal tidak hanya sesuai dengan ide mereka tentang “negara adalah pemilik sejati atas tanah”, tapi juga bersesuaian dengan keinginan mereka untuk memelihara dan menjaga pemungutan sewa tanah Land Rent dan distribusi tenaga buruh sesederhana pemerintah terhadap klaim bahwa seluruh tanah adalah milik negara dinyatakan pada, paling tidak, tiga aturan perundang-undangan. Klaim seperti itu membuat pemerintah memiliki otoritas untuk mengatur distribusi tanah baik komunal maupun individual. Dalam ayat 74 Undang-Undang Tahun 1830 dikatakan bahwa “the lands of the island of Java, which are still owned by the government, shall, insofar as they are cultivated by the Javanese, be permanently leased to the native people”. Pernyataan yang sama dinyatakan pada ayat 62 Undang-Undang Tahun 1836 tahun 1854 bahwa “lands cultivated by the Javanese, with the exception of the so-called Private Estates, were the property of the state”. Begitu juga dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1870 disebutkan bahwa “the Government as the lawful successor of the native rulers is, according to custom, the supreme proprietor of all lands, cultivated or not” Boomgaard and van Zanden, 1990 22; Fasseur, 1992 30-31. Pernyataan-pernyataan undang-undang tadi menjadi dasar bagi pemerintah untuk menarik pajak dari tanah jabatan ambtsvelden adalah tanah sawah yang diberikan kepada pejabat, baik pemimpin pribumi seperti bupati dan kepala distrik maupun kepala desa atau pegawai desa. Tanah jabatan lungguh dan bengkok dalam bahasa Jawa, atau carik dalam bahasa Sunda kepala desa atau pejabat di bawahnya ditemukan di hampir seluruh desa di Keresidenan Cirebon, di seluruh keresidenan di Jawa Tengah, di seluruh keresidenan di sebelah barat Pasuruan di Jawa Timur. Namun, di empat keresidenan di Jawa Barat, kecuali Cirebon, dan seluruh keresidenan sebelah timur Probolinggo di Jawa Timur tidak seluruh desa memiliki tanah jabatan. Dari total desa di Priangan yang disurvey hanya ditemukan 5% tanah jabatan, sedangkan di Semarang 84% dan Surabaya 77%.6 Distribusi tanah jabatan hampir bersesuaian dengan pemilikan tanah komunal. Di hampir seluruh desa yang berlaku pemilikan tanah komunal, jenis pemilikan tanah jabatan pun berlaku luas. Pemilikan tanah individual, kumunal, dan jabatan hanya berlaku untuk tanah sawah; sedangkan tanah kering seperti tipar, huma, halaman, kebun hampir merup aka n h ak milik pribadi. Dalam kasus Priangan, dari 105 desa yang disurvey terdapat hanya 15 desa tanpa tanah kering. Jadi, 90 desa 6 Dihitung dari Eindresume I, bijlage A. Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3972011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungmemiliki lahan kering, dan semuanya merupakan hak milik hasil survey yang disponsori oleh pemerintah itu relatif sama dengan survey yang dilakukan oleh para peneliti. Van Deventer, misalnya, mengatakan bahwa selama masa VOC, kemudian Pemerintah Hindia Belanda, raja-raja Jawa adalah pemilik semua tanah. Hak yang dialihkan kepada Kompeni maupun Pemerintah Hindia Belanda merupakan akibat dari perjanjian-perjanjian dan perebutan seizures. Pandangan seperti itu diterapkan juga oleh Pemerintah Interim Inggris 1811-1816, sehingga pajak atas tanah diterapkan land rent/landrente Bomgaarod & van Zanden, 1990 21. C. van Vollenhoven menegaskan bahwa desa Jawa merupakan pusat area kontrol petani agrarische beschikkingskring. Termasuk dalam hak kontrol desa adalah hak milik atas tanah penduduk pribumi tertentu secara individu. Hak ini didasarkan pada pembuka pertama tanah rst reclamation of the land dan bisa mewariskan serta tanah, dikaitkan dengan kepentingan rumah tangga petani, terdiri atas tiga kategori utama, yaitu tanah yang dapat ditanami arable, tanah yang sudah ditanami cultivated, dan tanah liar wasteland.8 Namun, di antara 7 Eindresume, I, bijlage A, pp. 6-10; Di tanah kering tidak dimasukkan kopi dan kebun Sumber-sumber arsip, khususnya Pri-angan, membagi kegunaan tanah ke dalam 10 kategoriyaitu halaman, sa-wah, tegal, kolam vischvijver, hutan nipah nipa boschen, kebun sirih sirih tuinen, kebun kelapa klapper tuinen, kebun bambu bamboo tuinen, kebun lainnya, dan kopi; lihat Preanger 6/12, yang tiga itu, tanah yang dapat ditanami arable land yang sangat problematik; karena ia sangat dekat dengan kebutuhan hidup petani dan pada saat yang sama sangat berkaitan dengan proyek-proyek pertanian kolonial. Arable land sendiri terdiri atas sawah dan tanah kering. Tingkat ketersediaan air berpengaruh terhadap tipe sawah. Pada abad ke-19 tidak kurang dari 9 kategori sawah, yaitu sawah loh1. , sawah dengan suplai air yang mengalir,sawah cengkar2. gares, tanah yang kurang subur karena kurang suplai air,sawah3. rawa, sawah di tanah berpaya-paya,sawah4. banarawa, sawah di tanah berpaya yang biasa mengering bila musim kemarau,sawah5. ilir, sawah dengan suplai air sepanjang waktu,sawah6. tadah hujan, sawah yang hanya berair di musim hujan,sawah7. buntar, sawah yang sangat jauh dari sumber air,sawah8. tumpang, sawah yang terletak pada sumber air Bottema, 1995 51. Klasifikasi di atas meliputi tiga situasi yang berbeda secara esensial, yaitu sawah irigasi, sawah tadah hujan rain-fed sawah dan saw ah berpaya swampy sawah. Sementara itu, tanah kering memiliki dua kategori, yaitu tipar dan huma tegal dan gaga, bahasa Jawa. Jenis tanah yang ditanami cultivated area , t ap i t i d a k dikelompokkan sebagai arable land, terdiri atas dua jenis yaitu kebon Algemeen Verslag 1876. 398Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandunggarden atau orchard dan pakarangan compounds.Tanah liar, termasuk hutan, adalah penting bagi kehidupan ekonomi petani. Hutan dipenuhi banyak jenis pohon yang menyediakan tidak hanya bahan makanan dan minuman tapi juga untuk yang lainnya, seperti rotan, bahan-bahan untuk tenun, pohon aren, lontar, gebang, alang-alang, dan tahun 1876 proporsi penggunaan tanah di Priangan di luar tanah liar secara umum adalah sebagai berikut halaman compound 5,35%, sawah 56,95%, tanah kering tegal 28,39%, kebun 9,31%. Termasuk ke dalam sawah adalah sawah irigasi, tadah hujan dan berpaya; dan kebun di sini termasuk kolam ikan shpond, kebun nipah, kebun sirih, kebun kelapa, kebun bambu, kebun kopi, dan Dalam hal penggunaan tanah yang ditanami padi di tiap-tiap kabupaten di Keresidenan Priangan secara umum diperoleh gambaran sebagai berikut. Kabupaten Bandung seluas bau, Sukapura bau, dan Cianjur bau. Namun demikian, berdasarkan pada kategori arable land, sawah irigasi lebih banyak ditemukan di Kabupaten Bandung, yaitu seluas bau, sawah tadah hujan di Kabupaten Sukapura seluas bau, sawah berpaya di Kabupaten Sumedang seluas bau, dan tegal di Kabupaten Sukapura seluas bau Preanger 6/12, 1876. Dari waktu ke waktu luas tanah yang dimanfaatkan selalu berubah berkaitan dengan perubahan fungsi dan 9 Kebun kopi di sini di luar tanaman kopi pemerintah; artinya kopi ditanam oleh petani pada tanah miliknya sendiri ber-dasarkan keinginan mereka. reklamasi tanah baru, baik sawah maupun tanah kering. Dibandingkan luas total tiap kabupaten dengan luas tanah yang ditanami dapat ditemukan sisa tanah yang termasuk tanah yang digunakan untuk menanam tanaman TABEL IIIPEMANFAATAN TANAH DI PRIANGAN 1878Catatan* tidak termasuk gunung dan sungai. Data diolah dari Priangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. **Data diolah dari Algemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RI.*** termasuk tanah yang digunakan untuk tanaman kopi, teh, dan tanah terdapat data kuantitatif tentang tanah milik individu dan berapa luasnya. Namun demikian diasumsikan bahwa ada dua titik ekstrem pemilik tanah, yaitu tuan tanah landlords dan tidak memiliki tanah landless. Di antara dua titik ekstrem itu terdapat pemilik 10 Administrasi kolonial, yang biasanya melalui the Cultivation Reports menye-diakan data yang lengkap untuk tana-man tebu dan indigo, tidak pernah me-nyebutkan berapa luas bau tanah yang digunakan untuk tanaman TOTAL*TANAH DIGUNAKAN UNTUK**bau SISA***bau1Halaman Sawah Tegal Kebun SubtotalBandung 965 64562 393 33661 116 984 11690 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.3992011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungtanah dengan luasan yang bervariasi yang umumnya tidak terlalu PENUTUPPriangan abad ke-19 bukan lagi issue lokal, tapi sudah masuk orbit persoalan regional, bahkan internasional. Semua itu terjadi karena komoditas yang dihasilkan Priangan yang laku di pasar internasional. Nila, kopi, teh, dan kina merupakan empat produk unggulan yang berasal dari Priangan pada abad ke-19, di samping produk lainnya yang masuk kategori bukan produk unggulan minor crops, seperti katun, murbai sutra, cengkih, lada, tembakau, dan sebagainya. Optimasi produk komoditas itu sangat mungkin terjadi berkat rekayasa pemerintah kolonial terhadap aspek sosial, politik, dan pertanahan di wilayah Keresidenan Priangan dan di daerah-daerah SUMBERAlgemeen Verslag van Preanger-regentschappen 1876. Priangan 6/12. ARNAS RIBersma. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. 3 volumes Batavia 1876. 1880. 1896. Boomgaard. Peter. 1989. Between Sovereign Domain and Servile Tenure The Development of Rights to Land in Java 1780-1870. Amsterdam Free University P. & van Zanden. 1990. “Food Crops and Arable Lands. Java 1815-1942”. in Changing Economy Indonesia. vol. 10. Amsterdam Royal Tropical Institute. Bottema. Jan Willem Tako. 1995. Market Formation and Agriculture in Indonesia from the Mid 19th Century to 1990. Doctor Dissertation at the Katholieke Universiteit Nijmigen. Jakarta Drukkerij Desa India Government Decrees Nos. 2 and 34 in 1867. specifying details. Eindresume van het bij Goevernements besluit dd. 10 Juni 1867 No. 2 bevolen Onderzoek naar de Rechten van den Inlander op den Grond op Java en Madoera. Zamengesteld door den Chef der Afdeeling Statistiek ter Algemeene Secretarie. Eerste Gedeelte. Batavia – Ernst & Co.. 1876. bijlage A. Ekadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka Locher-Scolten. 2000. “De kolonie verhouding in de 19e en 20e eeuw“. Spiegel historical. Vol. 35. no. 11-12; hlm. 1994. Village Java under the Cultivation System 1830-1870. Sydney Allen and Unwin. 400Patanjala Vol. 3, No. 3, September 2011 386-4012011 Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional BandungEncyclopadie van Nederlandsch-Oost Indie. 1st edition. vol. 3. hlm. Vincent. 1999.“Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state”. in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history of Indonesia. 1800-2000. Penultimate Draft. Passau; hlm. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo- Japan Insitute of Developing Economies. Kartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung Pusat Informasi Kebudayaan 1923. Bab a d R ade n A d i pat i A r i a Martanegara. Bandung “Maten en Gewichten van Nederlandsch Oost-Indie“. Handboek voor Cultuur en Handels-Ondernemingen in Nederlandsch Indie. 1914. ”Oekoeran dan Takaran. Timbangan. Mata Oeang“. Taman Pangajar. Pijper. 1977. Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900 – 1950 terjemahan. Jakarta Universitas IndonesiaPriangan 29a/1. 1837. ARNAS RI. Preanger 6/12. 1876Rouffaer. 1899-1905. “Vorstenlanden” in Encyclopaedie van Nederlandch-Indie. vol. IV. ’s-Gravenhage/Leiden. hlm. 1918. “De agrarisch rechtstoestand der inlandsche bevolking op Java en Madoera.” BKI 74 1918. hlm. 305-98; Svensson. Thommy. 1983. “Peasants and Politics in Early Twentieth-Century West Java”. in Thommy Svensson and Per Sorensen eds.. Indonesia and Malays; Scandinavian Studies in Contemporary Society. London and Mamo Curzon Press. hlm. Thommy. 1992.“State Bureaucracy and Capitalism in Rural West Java in the 19th and 20th Century”. in Bernhard Dahm ed. Regions and Regional Developments in the Malay-Indonesian World. Th. V. 4. 15 October 1903. hlm. Leslie H. status and power in Java. New York Humanities Otto Harrassowitz; hlm. den Bosch. „Verslag mijner verrigtingen“. hlm. 423 Struktur Sosial, Politik, dan Pemilikan Tanah ... Mumuh Muhsin Z.4012011Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandungvan den Berg. “Het eigendomsrecht van den staat opden grond op Java en Madoera”. BKI 40 1891. hlm. 1-26; van Meerten. Henry Charles. 1887. Overzicht van het Hervorming van het Preangerstelsel. Leiden Niel. Robert. 1992.„Rights to Land in Java“. in Robert van Java under the Cultivation System; Collected Writing. Leiden KITLV Press. hlm. Rees. 1869 Rees. Otto van. 1869. Overzigt van de geschiedenis der Preanger regentschappen. Batavia Vollenhoven. C. 1919. De Indonesier en zijn Grond. Leiden Brill;Zakaria, Mumuh Muhsin. 2010. Priangan Abad ke-19 dalam Arus Dinamika Sosial-Ekonomi. Disertasi Tidak Dipublikasikan. Bandung Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran. ... Dengan semangat interseksionalitas dalam feminisme, pemikiran dan gerakan para "feminis lokal" ini perlu disuarakan kembali demi mencapai feminisme yang relevan bagi setiap perempuan dalam bentang geografi politik tertentu. Penelitian etnografi pada tahapan akhir akan melalui suatu proses evaluasi, yang pertimbangannya didasarkan pada kontribusi substansial penelitian, tingkat estetika penulisan, tingkat faktualitas dan dampak yang bisa diberikan Spradley, 1979Spradley, , 1980 Perhatian ini tidak terlepas dari posisi Cianjur yang ketika itu merupakan pemasok salah satu komoditas kopi nomor satu di Jawa Barat 11 Zakaria, 2011c Breman, 2014;Herlina et al., 2018;Lasmiyati, 2015. 22 Uga merupakan suatu tradisi lisan di kalangan orang Sunda yang dipercaya sebagai "bisikan gaib" dari para karuhun nenek moyang, yang mana biasanya muncul ketika terdapat perubahan-perubahan tertentu di kalangan orang Sunda a new life movement. ... Muhamad AlnozaRaden Ayu Tjitjih Wiarsih, also known as Juag Tjitjih, was a figure in the early 20th century women's movement from Cianjur Regency, West Java. The existence of this character in Cianjur cannot be separated from a cultural heritage building called Bumi Ageung, where this house is the residence of Juag Tjitjih and her family and descendants. This research is generally carried out to answer problems, regarding the form of collective memory that is still being taught by the inhabitants of Bumi Ageung regarding Juag Tjitjih. The problem of this research is also related to other problems that are trying to be answered, namely regarding the background of the formation of the collective memory of Juag Tjitjih so that it is shaped in such a way. The main objective of this research is to find out how the leaders of the women's movement in Tatar Sunda are remembered by the community, in this case one of them is Juag Tjitjih. This study thus uses a qualitative method, in which the data collection method is carried out by participant observation and indepth interviews. At the analysis stage, this study adopts the deconstruction analysis method initiated by Jacques Derrida. The research ultimately found that Juag Tjitjih was remembered as a different figure from mainstream identity in Tatar Sunda in the 20th century. This negation between Juag Tjitjih and the soul of the Cianjur people's era is seen as having several paradoxical aspects in the narration, so that it is suspected that there has been a phenomenon called by Eric Hobsbawm as the invention of tradition. Mumuh Muhsin ke-19 bagi Priangan khususnya dan Pulau Jawa umumnya merupakan moment penetrasi kolonial yang sangat intens. Hal ini dilakukan melalui pelibatan hampir sebagian besar komponen masyarakat dalam mengusahakan tanaman komersial yang laku di pasar internasional, seperti nila, kopi, teh, dan kina. Hal tersebut tidak serta-merta mematikan aktivitas perekonomian dan pertanian subsitem penduduk Priangan. Malah yang terjadi adalah hubungan komplementer antar-keduanya. Hal ini dimungkinkan selain karena faktor geografis-ekologis yang kondusif juga karena jenis tanaman yang diusahakan dan jenis tanah yang digunakan tidak menyaingi sektor ekonomi pertanian. Peran elit lokal sangat besar dalam menciptakan keseimbangan dan harmonisasi relasi antar penduduk pribumi, pemerintah kolonial, dan elit lokal sendiri yang pada gilirannya berpengaruh terhadap peningkatan produk dan terciptanya suasana aman. Fakta historis yang ditemukan di Priangan menjadi indikator penting yang menjelaskan derajat relatif kesejahteraan masyarakatnya. Penelitian yang saya lakukan ini menggunakan metode sejarah yang meliputi empat tahapan kerja heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kata Kunci Sejarah, Priangan, Ekonomi, van der KraanR. E. ElsonPart 1 The social and economic context peasant society and economy in early 19th-century Java changing state, changing village. Part 2 The elements of the cultivation system the introduction and consolidation of the cultivation system crisis in the cultivation system reform and decline. Part 3 The cultivation system and social change the transformation of village institutions changing labour relations domestic cropping under the cultivation system trade and industry population growth and movement prosperity, poverty and Sunda Suatu Pendekatan SejarahEdi S EkadjatiEkadjati. Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta Pustaka in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i aHoubenJ H VincentHouben. Vincent. 1999. "Java in the ineteenth century consolidation of a territorial state". in Howard Dick et al. The Emergence of a national economy; An economic history o f I n d o n e s i a. 1 8 0 0 -2 0 0 0. Penultimate Draft. Passau; hlm. Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century JavaKanoHiroyoshiKano. Hiroyoshi. 1977. Land Tenure system and the Desa Community in Nineteenth-Century Java. Tokyo-Japan I n s i t u t e o f D e v e l o p i n g Adil. Jakarta Sinar HarapanKartodirdjoSartonoKartodirdjo. Sartono. 1984. Ratu Adil. Jakarta Sinar Harapan.
Tanahpekulen yang bersumber dari hukum adat dengan karakteristik komunal/ pemilikan bersama serta penguasaannya secara bergilir, pada kenyataannya masih ada di wilayah pedesaan di Jawa.
The dualism of national land law appears before the formation of the agrarian law through the Basic Agrarian Law BAL, has not been fully terminated. Various opportunities or legal vacuum still encountered, especially in relation to the provision of rights to land based on adat law. Pekulen land derived from adat law with communal characteristics/ joint ownership and land tenure in rotation, in fact is still exist in rural Java. Its posision became an important element in the village agrarian structure has the potential to make agrarian justice through policies at the local hukum tanah nasional yang muncul sebelum terbentuknya hukum agraria melalui UUPA, belum sepenuhnya dapat diakhiri. Berbagai peluang atau kekosongan hukum masih ditemui terutama dalam kaitannya pengaturan hak atas tanah yang berdasar pada hukum adat. Tanah pekulen yang bersumber dari hukum adat dengan karakteristik komunal/ pemilikan bersama serta penguasaannya secara bergilir, pada kenyataannya masih ada di wilayah pedesaan di Jawa. Kedudukannya menjadi unsur penting dalam struktur agraria desa karena berpotensi menjadi sarana pencipta keadilan agraria melalui kebijakan di tingkat lokal. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 466 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481* dan Sulastriyono**Sekolah Tinggi Pertanahan NasionalJalan Tata Bumi Nomor 5 Banyuraden Gamping, Sleman, Yogyakarta 55293Departemen Hukum Adat, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,YogyakartaJalan Sosio Yustisia Nomor 1 Bulaksumur, Sleman DI Yogyakarta 55281AbstractThe assigned of UUPA as national agrarian law has not ended the legal dualism land in Indonesia. Various opportunity or legal vacumm still be met especially in arrangement of land right based on customary law. This article want to know how is pekulen land positions in the structure of agrarian laws in Java? The analysis in this paper are based on the normative assessment. This paper found that pekulen land derived from customary law to be converted into the right of ownership or rights of use. However the conversion of rotating pekulen rights must be based on the original characteristics that are communal. This communal character needs legitimacy and further arrangements given the limited of existing land agrarian law, pekulen land, costumary law. IntisariDitetapkannya UUPA sebagai hukum agraria nasional belum mengakhiri dualisme hukum tanah di Indonesia. Berbagai peluang atau kekosongan hukum masih ditemui terutama dalam kaitannya pengaturan hak atas tanah yang berdasar pada hukum adat. Artikel ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana kedudukan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria di Jawa? Analisis dalam tulisan ini didasarkan pada kajian normatif. Kesimpulannya tanah pekulen yang bersumber dari hukum adat haruslah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut UUPA yaitu hak milik atau hak pakai. Meskipun demikian konversi hak pekulen bergilir harus didasarkan pada karakteristik asli hak pekulen yang bersifat komunal. Watak komunal ini memerlukan legitimasi dan pengaturan lebih lanjut mengingat masih terbatasnya ketentuan hukum yang Kunci hukum agraria, tanah pekulen, hukum adat. * Alamat korespondensi widhianapuri Alamat korespondensi sulastriyono MuatanA. Pendahuluan ...................................................................................................................................... 467B. Pembahasan ...................................................................................................................................... 4681. Pengertian Tanah Pekulen dan Persebarannya ............................................................................. 4682. Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika Masyarakat .................................................. 4703. Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika Masyarakat .................................................. 472C. Penutup ............................................................................................................................................. 479TANAH PEKULEN DALAM STRUKTUR HUKUM AGRARIA DI JAWAWidhiana H. Puri 467Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaA. PendahuluanHukum adat sebagai hukum yang bersumber dari masyarakat Indonesia menjadi jiwa dan ruh dalam pengaturan Agraria di Indonesia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA, secara jelas menyebutkan hukum agraria Indonesia berdasar hukum adat yang bersifat komunalistik religius. Hukum tanah adat yang murni berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat gotong-royong dan kekeluargaan yang diliputi suasana Konsep komunalistik religius memungkinkan penguasaan bagian tanah bersama sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa dengan hak yang bersifat perorangan atas tanah. Dapat dikatakan bahwa hak individual terdapat pada sebagian tanah bersama yang mengalami penguatan seiring perkembangan hukum adat dengan konsep “komunal” dan “individual” atas tanah masih hidup lestari dalam wilayah Indonesia. Sering dijumpai berbagai peraturan terkait penguasaan tanah yang berbasis hukum adat, seperti tanah gogolan, tanah pekulen, tanah yasan, dan sebagainya. Nilai-nilai komunalistik yang menjadi karakter tanah adat masih kuat dirasakan bahkan ditengah semakin individualisnya penguasaan tanah dalam UUPA yang beraspek perdata, contohnya tanah pekulen. Tanah pekulen berkembang di Jawa khususnya Karesidenan Kedu termasuk di Desa Ngandagan Kab. Daya tariknya adalah terbentuknya struktur agraria baru akibat kebijakan yang diambil oleh Kepala Desa di tahun 1947-1964 yang bernama Soemotirto dengan tujuan pemerataan dan keadilan. Kebijakan ini berawal dari sawah komunal milik desa yang dipecah-pecah dalam unit kulian masing-masing seluas 300 tiga ratus ubin dengan 1 ubin sama dengan 14 m2 pada masa pemerintahan Belanda dalam rangka memenuhi kebutuhan komoditas pertanian dan membagi beban wajib Pemecahan sawah komunal desa ini menghasilkan tanah pekulen yang tersebar di Pulau Jawa khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tanah pekulen adalah sawah komunal desa yang pemanfaatannya dibagi-bagi kepada sejumlah petani penduduk inti baik secara tetap maupun secara giliran Penyebutan milik desa di sini bukan dalam arti sebagai pemilik sesuai ketentuan yuridis, namun lebih pada otoritas yang memiliki kuasa untuk mengatur dan menentukan alokasi penggarap atas tanah sawah tersebut. Pemegang kuasa atas tanah ini disebut kulian atau kuli baku. Keistimewaan Desa Ngandaganyaitu karena ada sifat bergilir di atas tanah pekulen tetap. Setiap kuli baku, diberi hak garap atas satu atau lebih unit kulian tergantung dari kontribusi yang mampu diberikan kepada desa. Memudarnya sistem tanah komunal di Ngandagan menyebabkan tanah pekulen ini kemudian dimiliki secara perseorangan dan turun temurun oleh kuli Atas inisiatif kepala desa, desa mengambil 90 sembilan puluh ubin untuk diberikan kepada masyarakat yang tidak memiliki tanah untuk dikelola secara bergantian dengan menjadi buruh kuli pada tanah Seluruh luasan tanah pekulen ini telah dilengkapi dengan letter C dan dibebani dengan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB yang harus ditanggung oleh kuli baku meskipun sebagian darinya digarap oleh buruh kulian. Sistem ini masih bertahan hingga sekarang, bahkan mengalami dinamika seiring 1 Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hlm. Hal ini menghasilkan tanah kulian, yaitu bidang-bidang tanah yang merupakan persilisasi dari tanah komunal desa. 3 Ibid. hlm. Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luth, hlm. 42. Secara umum, tanah di desa-desa Jawa pada masa lampau di bagi menjadi 3 yaitu tanah yasan yaitu tanah milik pribadi yang hak kepemilikan atasnya berasal dari kenyataan bahwa pemiliknya atau nenek moyangnya adalah orang yang pertama kali membuka tanah dari hutan. Kedua, adalah tanah pekulen, dan ketiga adalah tanah bengkok yaitu tanah sawah milik desa yang diperuntukkan bagi para pamong desa sebagai “gaji” selama mereka menduduki jabatan pamong itu. Tanah pekulen dalam perkembangannya menunjukkan kontrol desa kian melemah dan hak warga desa yang menguasai bidang tanah semakin kuat serupa dengan hak milik penuh yasan. Istilah pekulen merupakan penyebutan lain untuk gogolan, sedangkan sikep merupakan nama lain untuk kuli Hal ini menghasilkan tanah kulian, yaitu bidang-bidang tanah yang merupakan persilisasi dari tanah komunal desa. 6 Tanah ini disebut dengan buruhan. Yaitu petak sawah yang berasal dari sawah kulian yang disisihkan oleh pemegangnya untuk diberikan sebagai hak garap kepada petani tak bertanah. Hal ini menimbulkan hubungan patron-klien antara penggarap dan kuli baku. 468 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481perkembangan zaman. Keberadaan tanah pekulen ini menarik dikaji pada masa kini. Hal ini karena secara de jure UUPA telah memberikan rambu-rambu, namun secara de facto masih sulit untuk diimplementasikan dengan melihat karakter tanah ini. Meskipun secara formal jenis tanah ini belum sepenuhnya dapat diintegrasikan dalam pola penguasaan hak atas tanah hukum nasional, namun pada kenyataannya tanah ini menjadi penyumbang kesejahteraan bagi masyarakat desa dan di sisi lain menyumbang konik agraria karena kepastian hukum yang sulit ketika legalisasi tanah pekulen sulit dilakukan, maka terjadi saling klaim pemilikan tanah yang berujung status quo. Kondisi ini menghambat kegiatan pembangunan karena tidak jelasnya status hak atas tanah. Hal ini semakin rumit dengan lahirnya Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu yang seakan menyamakan tanah ulayat dan tanah karakteristik penamaan tanah ulayat dan tanah komunal untuk Jawa dan luar Jawa memiliki perbedaan. Sistem pengaturan tanah ulayat selama ini mensyaratkan adanya entitas masyarakat hukum adat dengan pengakuannya oleh negara, sedangkan di Jawa hal ini tidak selalu ada. Bagaimanakah pengaturan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria nasional? Hal ini akan sangat bergantung dari karakteristik tanah serta norma hukum yang dijadikan standar negara. Keadaan kekosongan hukum yang ada memerlukan kajian mengingat bahwa untuk membentuk hukum tergantung arah kebijakan politik negara, sistem nilai masyarakat, serta berbagai aspek lain yang melingkupinya termasuk peluang regulasi yang ada. Berdasarkan uraian di atas, tulisan ini bermaksud menampilkan keberadaan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria di Pembahasan1. Pengertian Tanah Pekulen dan Persebaran-nyaDiskursus mengenai konsep hak atas tanah menurut hukum adat secara tidak langsung berkaitan dengan lingkungan geogras dan adat daerah yang sangat heterogen di Indonesia. Hal ini mengakibatkan penyebutan berbeda satu dengan daerah lain meskipun memiliki esensi yang sama, termasuk tanah pekulen atau yang sering disebut sanggan, kulen atau gogol. Menurut Moedjiono dalam BF. Sihombing, tanah pekulen adalah gaji pegawai berupa tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat Hal ini terjadi pada zaman kolonial sebagai penghargaan dari pemerintah kepada warga masyarakat yang berjasa. Pengertian ini mengarah pada konsep tanah pekulen sebagai modal untuk memenuhi kewajiban tanam paksa maupun pembayaran pajak dalam konsep cultuurstelsel yang melahirkan komunalisme tanah yang berpusat di desa-desa Jawa oleh Belanda. Faktanya bahwa justru Belanda memanfaatkan keberadaan pertanian di desa untuk diakui sepihak sebagai milik pemerintah berdasar asas domein verklaring. Denisi gaji pegawai lekat dengan pengertian tanah bengkok yang ada dalam struktur agraria pedesaan Billah dalam Sediono menyebutkan bahwa tanah pekulen adalah tanah milik individu yang tidak dapat dijual kepada orang dari desa lain karena ada hak-hak tertentu dari desa atas tanah Hak tersebut antara lain berupa larangan menjualnya kepada warga di luar desa. Pendapat lain menyebutkan bahwa tanah pekulen adalah sawah komunal milik desa yang diberikan kepada penduduk inti Berbagai pendapat tersebut memiliki konsep dasar yang sama yaitu adanya 7 Mudjiono dalam BF Sihombing, 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Jakarta, hlm. Ranneft dalam M. Billah, et al., 2008, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Pada Abad XIX dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Moh. Shohibuddin dan Ahmad Nashih Luth, 469Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawasifat komunal dari desa baik yang bersifat langsung pengaturan peruntukan dan pengawasan langsung oleh desa maupun tidak langsung desa hanya mengawasi penggunaannya oleh individu warga.Istilah kuli di wilayah Bagelen Purworejo berasal dari bahasa sansekerta yang berarti petani, bukan kuli koeli dalam arti buruh yang diserap dari terminologi sejarah perkebunan perusahaan Belanda di Indonesia Sumatera timur. Di luar wilayah Bagelen, istilah kuli sebagai penggarap tanah juga dikenal. Kuli sama dengan gogol atau sikep yakni pihak yang diberi kuasa atas tanah Gogol/sikep/kuli di desa adalah golongan anggota masyarakat yang melaksanakan tugas gawe desa tugas-tugas sosial dalam pemerintahan desa.Tugas tersebut berupa rapat-rapat desa, jaga malam, gotong royong, penanggulangan kebakaran, banjir, serta bencana alam lain dan bentuk partisipasi Para gogol/sikep/kuli inilah yang memiliki kewajiban-kewajiban utama terhadap desa, mes-kipun dalam kenyataannya hal tersebut dapat dise-rahkan pada para penggarap/ buruhnya. Hal ini sejalan dengan pembagian warga masyarakat desa oleh vanVollenhoven yang menempatkan kuligogol, sikep, atau kuli kenceng sebagai golongan penduduk secara langsung berpe ngaruh terhadap status penguasaan tanah Pertama, tanah yasan, yasa/yoso, tanah dimana hak seseorang berasal dari kenyataan bahwa ia/ leluhurnya yang pertama membuka/mengerjakan tanah. Tanah ini oleh UUPA dikonversi menjadi hak milik. Kedua, tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan, adalah tanah pertanian milik bersama yang darinya para warga dapat memperoleh bagian untuk digarap baik secara bergilir atau tetap dengan syarat tertentu. Persyaratan tersebut meliputi sudah kawin, punya rumah dan pekarangan, dan kerja wajib desa. Konsep hukum barat meletak kan dalam kategori tanah komunal. UUPA mengkon-versi hak atas tanah ini menjadi hak milik bagi penggarapnya yang terakhir. Ketiga, tanah titisara, bondo desa, kas desa yaitu tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan dengan cara dilelang sedangkan hasilnya untuk anggaran rutin atau pemeliharaan desa. Keempat, tanah bengkok, tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah dan hasilnya dianggap gaji selama menduduki jabatan. Tanah pekulen adalah jenis tanah adat yang memiliki karakter komunalistik yang melekat pada kewenangan desa. Jenis tanah ini memiliki penamaan yang tidak sama tergantung masing-masing wilayah. Ciri utama sekaligus pembedanya adalah sifat tanah yang dikelola oleh desa dan hak garapnya ada pada warga desa baik secara tetap maupun digilir. Berikut ini beberapa istilah untuk sawah komunal Devy Dhian Cahyati, 2014, Konik Agraria Di Urutsewu, Pendekatan Ekologi Politik, STPN Press, Yogyakarta, hlm. Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. M. Billah, et al., Loc. Gunawan Wiradi, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. 1. Istilah Sawah Komunal Di Berbagai DaerahDaerah Istilah sawah komunal Istilah penggarap/ yang melakukan kerja wajibIstilah tanah garapan yang digilirkanCirebon Sawah desa Sikep, kuren tani, tani laku gawe, cekel gawe, jalma pegang sawah, tani buku, cacahBagian carik, lakonangaweTegal Playangan. Bumen-bumen, sawah desaKuli, janggol, kerik sikep Bakonkuli, janggolan, bagian, bagian janggol, bagian carikBanyumas Playangan, prutahan, sawah kuwu, lanyahKuli, kerik Bagi, bagian, catonPekalongan Playangan, sawah desa, sawah sangganSikep Bagian, sikep 470 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481Secara khusus, persebaran desa yang mem-punyai tanah norowito/gogolan/kesikepan/pekulen belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa literaturmenyebut berada di daerah areal tebu, padi, dan nila yang terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan di Jawa Barat. Desa-desa di Jawa Barat sebagai penghasil kopi relatif bersifat individual dengan kontur dataran tinggi daripada sifat komunal yang dimiliki desa di Jawa Tengah dan Jawa Beberapa daerah lainnya seperti Bagelen di Karesidenan Kedu Purworejo, Kebumen, Temanggung, Wonosobo, dan Magelang, Tegal, Probolinggo dan beberapa daerah lain termasuk di Sidoarjo juga mengenal tanah gogolan/pekulen yang menarik dilakukan bagi masyarakat desa menjadi faktor produksi/ modal. Pemilikan dan penguasaan tanah menjadi simbol status dan sumber kesejahteraan. Meskipun demikian faktanya tanah pekulen individual tetap terjaga kebersamaannya melalui pengakuan adanya kewenangan yang dimiliki oleh desa. Hal ini sejalan dengan pendapat A. Sonny Keraf dan kaum Stoasebagaimana diacu oleh Kurnia Warman bahwa ciri atau ukuran utama adanya kepemilikan bersama co-ownership adalah adanya kesatuan yang tidak terpisahkan dari benda atau hak yang menjadi milik bersama itu. Kepemilikan bersama erat hubungannya dengan pencapaian keadilan karena sasarannya adalah keharmonisan, keserasian, dan keutuhan Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika MasyarakatTanah di Indonesia mengalami penataan dan pengaturannya pasca lahirnya UUPA tahun 1960. UU ini mengakhiri dualisme hukum agraria yang bersumber atas hukum barat dan hukum adat. Penerapan hukum agraria nasional menetapkan adanya konversi terhadap hak atas tanah yang bersumber dari hukum barat dan hukum adat menjadi hak atas tanah menurut hukum tanah sudah terjadi dengan berdasar alur sejarah yang bersesuaian dengan daerah masing-masing di Indonesia. Secara garis besar, konsep penguasaan tanah masa lalu merupakan dasar dan cikal bakal status hak atas tanah pada masa kini. Konsep ini tidak hanya bersumber dari hukum adat yang memang berkonsepsi komunalistik religius, namun ternyata juga berasal dari hukum barat yang Bagelen Sanggan, lanyah, baku, sawah desaKuli, kerik Bagian, sanggan, kulenSemarang Wong tani, sikep Bangku, sanggemanJepara Sawah desa, bumi, kebumen, norowito, sewanWong tani, wong kenceng, sikep, gogolBagian, sanggeman, bangkuRembang Krajan, jung, bakon, kramanan, ideran, baratan, auman, bagenKraman kenceng, gogol, sikep, kuli kencengBangku, selakon, bakonkuli, kramanan, kulen, bagenMadiun Rojo Kuli kenceng Kulen, bangku, bagian, selupit, sekencengajangan, sepangkonsangganKediri Kongsen, lanyah Kuli kenceng Kulen, catu, anjangan, bangkuSurabaya Sawah desa, lanyah, kongsen Gogol, kraman Caton, kramanan, catuPasuruan Lanyah, kongsen, kramanan, sawah duweke wong akeh, sawah desa, negoro, rojoGogol, gogol sawah, wong tani BagianProbolinggo Wong kenceng, orang kencengMadura Oring kuat, taniSumber Hiroyashi Kano,14 Hiroyoshi Kano, 2008, Sistem Pemilikan Tanah Dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Gunawan Wiradi, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Andalas University Press, Padang, hlm. 28-31. 471Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaberkonsepsi individualistik menunjukkan bahwa terdapat per bedaan pendapat mengenai sejarah lahirnya tanah komunal di Indonesia. Pendapat pertama menye butkan bahwa sistem tanah komunal timbul sebagai akibat adanya perubahan sistem yang dilaksanakan oleh para raja dan pemerintah komunal atas tanah bukan asli dari masyarakat Indonesia namun bersifat artisial atau buatan. Hal ini didasari pada fakta bahwa sebelum pemerintah Belanda ada di Indonesia, desa-desa tidak membentuk suatu masyarakat dengan batas geogras yang jelas, sehingga penentuan garis batas dan pembentukan wilayah afronding merupakan hasil pemerintah Keberadaan desa-desa inilah yang menjadi tumpuan cultuurstelsel tanam paksa pada abad XIX yaitu periode 1830-1870 yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Hal ini bertujuanuntuk membuat Jawa menjadi tanah jajahan yang menguntungkan melalui penarikan dan sistem pajak tanah. Kebijakan yang diambil dalam rangka pengorganisasian tanah yaitu dengan menyerahkan pengelolaan semua tanah baik pendistribusian, penggunaan, dan penyerahan hasil bumi dalam koordinasi desa. Akibat kebijakan ini pemilikan tanah justru menjadi beban karena adanya wajib kerja bagi para penggarap tanah yang sangat besar. Penggarapan tanah justru menjadi beban yang mendorong untuk pendistribusian tanah untuk ditanggung bersama dengan warga desa lain. Pembagian kembali tanah-tanah garapan antara para warga desa secara komunal yang teratur dan berkala dilakukan sebagai tindak lanjutnya. Proses ini didorong pemerintah kolonial karena pengawasan terhadap komoditas tanaman dan penggunaan sarana pengairan dianggap lebih esien dan mudah jika dilakukan dengan gabungan petak sawah daripada persil terpisah. Pendapat kedua menyebutkan, baik sistem pribadi maupun komunal merupakan bentuk asli yang ada sejak Hal ini didasari konsepsi komunalistrik religius yang menjadi karakter asli masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat memang telah terbagi dalam mengelola tanahnya baik tanah pribadi yang dimiliki sendiri maupun tanah bersama yang berada dalam pengawasan di wilayah kerajaan vorsten-landen seperti Yogyakarta dan Surakarta meng-gunakan sistem apanage lungguh dimana raja merupakan pemilik semua tanah di wilayah kerajaan dan memberi gaji para abdi dalem dan priyayi dengan tanah lungguh atau tanah bengkok. Kekuasaan sultan absolut atas tanah di wilayah kerajaannya, sedangkan rakyat kawula dalem hanya diperkenankan menempati sebagian tanah. Rakyat memiliki hak anggadhuh dengan status turun temurun. Status sultan ini sebagaimana bunyi Pasal 1 Rijksbladvan Sultanaat Djogjakarta No. 16 Tahun 1918 Sakabehing bumi kang ora ana yektine kadarbe ing liyan mawa wewenange gendom dadi bumi kagungane keraton ingsun reorganisasi tanah di keraton Yogyakarta Tahun 1917 yang dimulai dengan penghapusan sistem apanage, tanah diserahkan pengelolaannya kepada kalurahan. Tanah menjadi milik komunal warga kampung dengan status hak pakai gebruiksrechten. Selain lahirnya Hak pakai secara turun temurun erfelijkgebruiksrechten, pada tahun 1925 Sultan memberikan tanah kepada warga masyarakat dengan hak milik pribadi. Ada sebagian penduduk yang memperoleh hak pakai dari kelurahan dan ada sebagian golongan yang diberikan hak milik andarbeni.21 Tanah di Indonesia bukan hanya merupakan suatu lingkungan jurisprudensi 17 Boedi Harsono, Op. cit., hlm. Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. M. Billah, et al., Loc. Artinya segala tanah yang tidak ada bukti kepunyaan orang lain dengan kekuasaan eigendom menjadi tanah milik Keraton Yogyakarta. Lihat dalam Nur Aini Setiawati, 2011, Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat Pola Pemilikan, Penguasaan, Dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, STPN Press dan Sains, Yogyakarta, hlm. Ibid., hlm. 119. 472 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481pada taraf lokal melainkan adat kebiasaan yang mengatur seluruh hubungan antara penggarap tanah dengan negara yaitu berbeda dikemukakan oleh van Vollenhoven yang secara lugas menyebutkan bahwa ada banyak jenis hak adat menurut hukum adat Jawa yang berlaku bahkan jauh sebelum Belanda datang, yang kemudian oleh pemerintah dibagi menjadi 3 jenis penguasaan tanah yaitu erfelijktindividueelbezit atau hak milik pribumi yang dapat diwariskan, communalbezit atau hak milik komunal, dan gebruiksaandelen in communaalbezit atau hak milik komunal dengan pemakaian secara Selain itu disebutkan juga bahwa seluruh daerah Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk daerah Vorstenlanden Kedu24, Surakarta, dan Yogyakarta memiliki jenis tanah komunal yang merupakan bagian tanah ulayat desa. Hal ini sekaligus menolak doktrin domein raja bahwa semua tanah adalah milik raja. Tanah ulayat desa ada terlebih dahulu sebelum dipenetrasi dengan absolutisme sederhana berikut ditampilkan perbedaan antara tanah komunal dan tanah perorangan/ Svein Aass, 2008, Relevansi Teori Makro Chayanov dalam Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Cornelis vanVollenhoven, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Yogyakarta, Hlm Lihat Cornelis vanVollenhoven, Ibid., hlm. 17. Dalam catatan sejarah wilayah Kedu termasuk dalam Vorstenlanden yang kemudian oleh Sultan diberikan kepada pemerintah Belanda sebagai imbalan jasa karena membantu menumpas 2. Perbedaan Karakteristik Tanah Komunal dan Tanah PeroranganNo Karakter Tanah Individual Tanah Komunal1. Pemilikan Pemilik tanah adalah perseorangan Pemilik tanah adalah seluruh masyarakat desa2. Penguasaan Penguasaan secara pribadi Penguasaan secara bersama-sama3. Peruntukan/ penggunaanBiasanya untuk rumah , pekarangan, sawah, serta untuk sawah desa, tanah penggembalaan, kebun, dan perumahan Pengawasan desa Memastikan dilakukan penguasaan secara nyata dan efektif oleh pemilik. Dapat ditarik jika tidak berwenang mengatur dan menentukan penguasaan, peruntukan, dan Peralihan Dapat dialihkanoleh pemilik, namun tidak boleh kepada orang di luar desa. Jika pemilik meninggal dunia/ meninggalkan desa, desa akan mengambil dan menyerahkan kepada orang lainWarga desa hanya berhak menggarap, tidak boleh dialihkan kepada orang lain6. Kewajiban ke desaTidak ada Wajib melakukan kerja ke desa kerigan baik kerja bakti, ronda malam, Olahan Penulis, Sejarah Penguasaan Tanah Pekulen dan Dinamika MasyarakatPerubahan dan perkembangan zaman merupakan hal yang alami. Transformasi masyarakat dari bersifat sederhana menuju masyarakat yang kompleks senantiasa terjadi dalam kaitannya dengan perubahan politik, ekonomi, sosial, bahkan hukum, seperti konsep hak atas tanah berdasarkan pada hukum adat. Konsep ini bersifat tidak tertulis, sehingga eksistensinya rentan dan mengalami perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh ikatan yang ada dari masyarakat desa sebagai lingkungan agraria merupakan sebaran atau distribusi penguasaan formal dan penguasaan operasional serta alokasi pembentukan sumber-sumber agraria yang memiliki relasi satu sama lain. Komponen utama dalam struktur agraria yaitu pemilikan, penguasaan, dan peruntukan atau penggunaan sumber agraria oleh subjek agraria yaitu pemerintah sebagai pemegang kekuasaan 473Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaformal, petani, dan pengusaha atau Pemilikan mengarah pada hubungan subjek dan objek yang diformalkan dalam sebuah hubungan hukum yang kuat. Fitzgerald dalam Kurnia mengemukakan ciri pemilikan, pertama, pemilik memiliki hak untuk memiliki barangnya. Kedua, pemilik biasanya mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya yang pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap barangnya. Ketiga, pemilik mem-punyai hak untuk menghabiskan, merusak, mengalihkan barangnya kepada orang lain. Keempat, Pemilikan mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu, berlaku selamanya. Kelima, pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa dan tak terbatas. Tanah mungkin digadaikan, dibagikan dan lain-lain, namun pemilik masih memiliki tanah yang ada. Hak tadi menumpang di atas hak milik yang asli/ ius in milik sangat kuat, namun tetap harus berfungsi sosial, yaitu agar barang tidak dimonopoli oleh pemiliknya, namun harus memberi faedah bagi kehidupan masyarakat fungsi sosial sebagaimana falsafah Pancasila yang menggambarkan manusia sebagai makhluk dwi tunggal baik sebagai manusia pribadi maupun makhluk etimologi, penguasaan berasal dari kata “kuasa” yang berarti kemampuan atau kesanggupan berbuat sesuatu, kekuatan atau kewenangan atas sesua tu atau untuk menentukan memerintah, mewa kili, mengurus, dan sebagainya sesuatu itu. Jadi menurut bahasa, penguasaan atas tanah dapat diar tikan sebagai proses, cara atau perbuatan untuk menguasai sebidang tanah yang berisikan wewe-nang dan kesanggupan dalam menggunakan dan memanfaatkannya untuk kelangsungan Penguasaan harus secara faktual dalam dan pemanfaatan menunjuk pa-da cara sebidang tanah diusahakan secara langsung, baik untuk usaha pertanian, dan nonpertanian serta pemanfaatan yang beraneka ragam seperti rumah toko ruko, perumahan, sawah, ladang, dan merupakan konkritisasi nilai-nilai yang terbentuk dari kebudayaan suatu Masyarakat sebagai subyek pembentuk hukum mengembangkan perangkat aturan dalam rangka menciptakan ketertiban dan keteraturan hidup dengan berdasarkan pada sistem nilai dan adat yang ada, hidup, tumbuh dan berkembang di yang ada tergantung pada sistem nilai dan budaya masyarakat yang bersangkutan. Pada tataran kenegaraan, hukum harus bersifat nasional sehingga ada berbagai kepentingan dan nilai yang belum terwadahi. Hukum merupakan sistem yang terdiri dari perangkat aturan yang menurut Lawrence M. Friedman yang diacu Esmi Warassih terbagi dalam 3 tiga komponen sistem hukum berupa struktur, substansi, dan Struktur hukum agraria dapat dipahami sebagai kelembagaan yang diciptakan dalam sistem hukum agrarianya dengan berbagai macam fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum. Pada tataran negara Indonesia, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam rangka mengemban tugas mewujudkan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran tanah sawah berdasar hukum adat, sangat lekat dengan insitusi desa sebagai unit pemerintahan terkecil dalam sistem desentralisasi sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengalami dinamika seiring perkembangan zaman. Pada masa lalu desa dibentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga kerja maupun dalam rangka pengelolaan tanah untuk keperluan Belanda dan 25 Gunawan Wiradi, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, Op. cit., hlm. Kurnia Warman, Op. cit., hlm. Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Semarang, hlm. Ibid., hlm. Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 2014 denisi Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakar setempat berdasarkan berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 474 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481kerajaan, sekarang desa diharapkan jauh lebih demokratis dan otonom. Sebagai institusi dengan pola sosial dan kehidupan kemasyarakatan yang lebih intensif, maka masyarakat desa dengan basis kehidupan agraris/ pertanian di dunia terbagi dalam beberapa bentuk yang dapat dilihat pada tabel 2 di bawah Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. Ahmad Nashih Luth, et al., 2013, Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa Tengah Dulu Dan Sekarang, STPN Press, Yogyakarta, hlm. 3. Bentuk Dasar MasyarakatKriteria Bentuk Asia Bentuk Klasik-Antik Bentuk JermanGemeinschaft dasar “suku” tribe atau subbagian-nya“kota” city “masyarakat prajurit”“kampung” village kelompok pemilik tanah yang bertetanggaHausgemeinschaft keluargaKeluarga besar patriarkalKeluarga kecil patriarkal dengan otoritas kuat di tanagn kepala keluargaKeluarga kecil patriarkal dengan otoritas yang melemah ditangan keluargaPrinsip “persamaan” Substantif distribusi mendasar kemampuan dan kebutuhanSubstantif FormalKelaziman pemilikan tanah pribadiHeredium bidang tanah untuk perumahan dan kebunFundus bidang tanah untuk perumahan, kebun, dan sebagian tanah milik umum dan diduduki melalui hak senioritasHufe bidang tanah untuk perumahan, kebun, dan bidang kecil tanah pertanian serta bagian dari milik desaKeterangan Tulisan pada kolom yang ditulis tebal adalah ciri masyarakat pedesaan di Hiroyashi Kano,31 pedesaan di Indonesia identik dengan gambaran bentuk masyarakat pedesaan klasik-antik meskipun bukanlah masyarakat kota. Umumnya terdiri atas keluarga kecil patriarkal dengan kekuasaan yang besar pada kepala keluarga. Kehidupan sosialnya didasari oleh prinsip persamaan yang substantif artinya distribusi didasari kemampuan dan kebutuhan. Pemilikan tanah secara pribadi umumnya digunakan untuk perumahan, kebun, dan sebagian tanah milik umum serta diduduki melalui hak senioritas yang diberikan penguasaan baik formal maupun operasional dari tanah komunal pada tingkal lokal terjadi di Desa Ngandagan, Kecamatan Pituruh Kabupaten Purworejo. Tanah pekulen yang telah mengalami penguatan dengan hak individu yang dipengaruhi oleh hak ulayat desa. Desa masih memiliki kewenangan untuk mengatur dan menentukan pemilikan, penguasaan, dan penggunaannya. Atas dasar inilah kemudian lahir istilah tanah pekulen atau kulian tanah milik individu masyarakat yang diperoleh dari desa, dan tanah buruhan bagian tanah pekulen yang diambil oleh desa untuk dibagikan kepada petani yang tidak memiliki tanah. Kebijakan ini mengalami perubahan sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat, yaitu luas tanah pekulen yang dipotong tidak hanya seluas 300 ubin namun kadang lebih sempit karena mengikuti plot tanah sawah yang ada serta tanah buruhan seluas 90 ubin dibagikan untuk 2 rumah tangga dan perkembangan pengelolaan tanah pekulen yang terdiri atas tanah kulian dan buruhan sangat dipengaruhi oleh kontestasi berbagi aktor yang berperan. Baik para kulian, buruh kuli, aparat desa, maupun stakeholder lain masing-masing memiliki interpretasi yang berbeda. Hiroyoshi Kano menyebutkan ada 3 cara redistribusi tanah oleh desadiantaranya melalui kebijakan yang diinisiasi 475Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di Jawaoleh kepala desa/ institusi Hampir semua pembaharuan agrariadilakukan atas dasar inisiatif pemerintah, sehingga begitu minat pemerintah berubah demi kepentingannya maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria. Inisiatif dan kedermawanan pemerintah ini oleh Powelson dan Stockyang disitir oleh Noer Fauzi disebut dengan istilah reformbygrace. Pembaruan ini tidak sustainable karena tergantung pada pasar politik menurut istilah Yushiro Sifat unsustainable ini seringkali membuat sebuah kebijakan khususnya agraria seringkali mengalami pembalikan atau perlawanan bahkan membawa masyarakat menunjukkan kecenderungan yang mengarah pada penguatan hak individu dan tuntutan atas kepastian hukum yang berhadapan dengan kuatnya solidaritas masyarakat dalam mempertahankan hak ulayat desanya. Pola individualisasi ini dapat dibatasi dengan menjaga pola pergiliran pemanfaatan tanah yang memberikan manfaat penguasaan secara individual. Ketidaksepahaman tentang kedudukan dan pengelolaan tanah pekulen ini disebabkan masih belum dicapainya suatu kepastian hukum dalam pengaturannya. Permasalahan yang harus diperhatikan adalah, karakter tanah pekulen khususnya tanah buruhan yang bersifat kolektif yang bertujuan untuk memberikan kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat khususnya yang tidak bertanah. Distribusi tanah pekulen yang dilakukan oleh desa secara revolusioner, selain bertujuan untuk pemerataan juga untuk menjaga prinsip-prinsip penguasaan tanah,diantaranya tentang pembatasan pemilikan tanah. Kecenderungan yang terlihat pada akhir tahun 1990-an menunjukkan perubahan dalam struktur agraria, diantaranya pertama dalam hal pemilikan khususnya tanah kulian beberapa sudah beralih kepemilikannya kepada warga desa lain. Padahal ada ketentuan yang melarang peralihan tanah tersebut khususnya kepada orang di luar desa. Kedua, penguasaan tanah khususnya dalam penentuan subyek yang ditunjuk oleh desa untuk mengolah sawah buruhan mulai didasarkan unsur-unsur subyektif desa misalnya tidak semata untuk petani tak bertanah namun juga dalam rangka pengerahan massa untuk keperluan Penguasaan sawah buruhan mengalami perubahan dengan mulai dilakukannya peralihan melalui jual/sewa garap kepada pihak Ketiga, terkait peruntukan atau penggunaannya, terlihat perubahan dalam komoditas pertanian yang ditanam yang awalnya tanaman pertanian dan palawija menjadi tanaman keras seperti jabon atau jati Belanda yang dinilai lebih menguntungkan dan tidak membutuhkan perawatan tanah garapan dari tanah komunal desa pada masa kini dilakukan berdasar prinsip kesamarataan formal, padahal dahulu didasarkan pada prinsip kesamarataan substantif. Kesamarataan substantif berarti disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan, sedangkan kesamarataan formal didorong oleh kesadaran tentang Hak Asasi Manusia HAM dengan prinsip sama rata bagi seluruh warga. Tiap garapan sama luas berdasarkan konsep persamaan hak atas tanah diantara para penggarap tanpa memandang alasan ekonomi misalnya besarnya tenaga kerja, kebutuhan atau kemampuan hasil yang dicapai. Keadaan ini bukan hasil perintah tuan tanah tetapi timbul karena hubungan pengelolaan tanah oleh desa sebagai persekutuan distribusi formal ini memiliki resiko pada tingkat kesejahteraan masyarakat desa yang ada. Tanah garapan seringkali belum mampu menjadi sumber kehidupan dan penghidupan yang 33 Lihat Hiroyoshi Kano, Op. cit., hlm. Noer Fauzi, 2008, “Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria Konteks Dan Konsekuensi Dari Serikat Petani Pasundan SPP Di Garut Jawa Barat” Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hlm. Ibid., hlm. Ahmad Nashih Luth, et al., Op. cit., hlm. Ibid., hlm. 112. 476 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481layak bagi penggarapnya, sehingga distribusi tanah yang ada juga menampakkan wujudnya sebagai distribusi kemiskinan bagi warga. Antropolog Amerika, Clifford Geertz38 melihat adanya hubungan langsung antara cultuurstelsel dengan agricultural involution, suatu sistem produksi sawah yang melibatkan banyak orang. Sifatnya sangat menyerap tenaga kerja dan selalu dapat melibatkan semakin banyak orang tanpa penurunan produksi. Hal itu justru menimbulkan kemelaratan bersama dan akhirnya masing-masing memperoleh bagian yang makin kecil yang tidak mampu menopang kebutuhan hidup tiap kelemahan dan kekurangan dalam pengakuan hak komunal, berfokus pada lemahnya pengakuan hukum yang mampu mewadahi fenomena yang ada. Penulis mencatat bahwa pada masa lalu, pengakuan atas eksistensi lembaga desa sebagai otoritas yang berwenang dalam mengatur keberadaan tanah adat di desa kuat. Subekti menyebutkan beberapa yurisprudensi mahkamah agung mengenai hukum adat terutama terkait adanya kewenangan desa dalam penguasaan tanah melalui hak gogolan dan pekulen, diantaranya39 pertama, putusan Mahkamah Agung MA tanggal 21-6-1958 No. 149 K/Sip/1958 yang memutuskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa merobah atau membatalkan putusan desa mengenai sawah pekulen, kedua putusan tanggal 10-10-1956 No. 32 K/Sip/1956 yang menyatakan menurut hukum adat di desa Sukorejo, Kabupaten Lamongan, tanah gogol bukan tanah yasan hanya dapat dihaki atau dipinjam oleh orang-orang yang berdiam di dalam wilayah desa tersebut. Hal itu sudah selaras dengan sifat hak gogolan sebagai suatu hak yang bersumber pada hak ulayat tersebut hanya dapat diberikan kepada anggota-anggota masyarakat desa itu sendiri dan tidak kepada “orang luar”. Putusan Pengadilan Negeri Lamongan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung sudah tepat, dan ketiga putusan tanggal 18-10-1958 No. 301 K/Sip/1958. Penunjukan tanah pekulen adalah hak semata-mata dari rapat desa, yang diberikan oleh Hukum Adat. Pengadilan Negeri tidak berhak meninjau tentang benar tidaknya putusan rapat desa tersebut. Putusan rapat desa dalam perkara ini, dapat dipandang sebagai pelaksanaan dari hak penguasaan desa doorpsbeschikkingsrecht, dari dulu dihormati oleh pengadilan, dalam arti tidak boleh dinilai lagi oleh ini belum menjadi dasar yang cukup bagi pemerintah untuk secara tegas dan tepat melakukan pengaturan atas tanah pekulen atau gogol yang sifatnya bergilir ini termasuk memperkuat lembaga desa. Fakta menunjukkan khusus tanah pekulen dan gogol yang bergilir, ketentuan hukum yang ada masih menimbulkan konik karena dianggap kurang tepat oleh masyarakat. Pengaturan hukum khusus mengenai kedua jenis tanah adat ini dapat kita lihat melalui ketentuan Pasal VII Ketentuan Konversi UUPA sebagai berikut1 Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat 1.2 Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat 1 yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.3 Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang ini membagi hak pekulen/gogolan menurut sifatnya menjadi 2 yaitu tetap dan tidak tetap. Kriteria mengenai pekulen/ gogolan tetap diatur dalam Pasal 20 ayat 2 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 tentang Pelaksanaan 38 C. Geertz, 1963, Agricultural Involution The Process Of Ecological Change In Indonesia, University Of California Press, California, hlm. Subekti, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke-4, Alumni, Bandung, hlm. 38-89. 477Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaBeberapa Ketentuan UUPA yaitu bahwa hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah golongan yang sama atau jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu. Pada ayat 4 jika ada perbedaan pendapat antara kepala inspeksi agraria dan Bupati Kepala Daerah tentang apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat jenis tanah gogolan tidak tetap diatur menurut Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria dan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/DEPAG/ Kriterianya terdiri dari 3 bentuk, yaitu matok sirah gilir galeng, gogol musiman, dan gogol gilir mati. Secara garis besar, prosedur teknis yang ditempuh dalam rangka konversi meliputi Pertama, untuk menentukan apakah suatu hak gogolan/ pekulen adalah tetap atau bergilir diatur dalam Pasal 20 ayat 3 dan 4 Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960. Kedua, bupati/ kepala daerah tingkat II dan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan untuk di dalam waktu sesingkat-singkatnya menyelenggarakan penegasan konversi hak gogolan tetap yang ada didaerahnya menjadi hak milik dan hak gogolan tidak tetap dikonversi menjadi hak pakai yang tunduk pada ketentuan UUPA. Ketiga, setelah ada penegasan dari panitia landreform kecamatan/panitia landreform kabupaten maka tanah bekas hak gogol tidak tetap yang telah dikonversi menjadi hak pakai diberikan dengan hak milik oleh kepala kantor wilayah BPN saat ini menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, dan keempat untuk kemantapan maka keluar Keputusan Bersama Menteri Agraria Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 30/DEPAG/1965. 11/DDN/1965 tanggal 4 mei 1965 tentang Penegasan Konversi Menjadi Hak Pakai Dan Pemberian Hak Milik Atas Tanah Bekas Hak Gogolan Tidak Tetap. Keseluruhan proses konversi tersebut harus dimohon atas inisiatif pemegang hak sesuai ketentuan Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi Dan Pendaftaran Bekas Hak Indonesia Atas Tanah. Hak pekulen yang bersumber dari hukum adat baik masyarakat dengan nilai-nilai hukum adat yang masih kuat maupun telah memudar bahkan hilang, memilikiarti penting sebagai bentuk hak tanah. pada kedudukan sebagai hak tanah ini, hak pekulen memiliki sifat yang kuat sebagai turunan dari sifat hak bangsa dalam tata jenjang hak penguasaan atas tanah. pembentukan hukum nasional melalui UUPA mengharuskan adanya konversi dengan maksud tetap mengakui keberadaan hak lama untuk disesuaikan dengan hak atas tanah menurut UUPA. Secara historis dan losos tanah dihormati sebagai sebuah anugerah Tuhan sehingga mengandung unsur religius serta watak kebersamaan dalam sifat komunalistiknya. Kategorisasi/ pembagian jenis hak pekulen menjadi tetap dan bergilir dengan melihat penguasaan dan pemanfaatnya menjadi titik utama dalam menentukan konversinya. Sebagaimana disebutkan di depan bahwa hak pekulen tetap akan dikonversi menjadi hak milik. Secara historis dan losos hal ini sesuai dengan sifatnya penguasaannya yaitu tetap, tidak ada batasan waktu penguasaan, serta dapat diwariskan. Karakter perseorangan/ pribadi ini sesuai dengan sifat hak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh yang dimiliki seseorang atas tanah. kejelasan dan kepastian akan subyek dan obyek hak terpenuhi secara tepat sehingga secara sosiologis juga mendapat legitimasi dari masyarakat sekitar. Hak pekulen bergilir menurut ketentuan konversi, akan diubah menjadi hak pakai. Secara yuridis normatif, sifat hak pekulen bergilir memang hanya disertai kewenangan untuk memakai/ menggarap tanah saja namun terbatas waktu dan tidak dapat diwariskan. Karakter penguasaan sementara ini menegaskan adanya pihak lain yang lebih memiliki hak penuh atas tanah yang ada. Konversi hak pekulen bergilir menjadi hak pakai terhadap penggarapnya yang terakhir kiranya telah sesuai dengan sisi losos, dan sosiologis yang dimiliki hak tersebut. Yang seringkali menjadi 478 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481pertanyaan bahwa dalam proses konversi hak tersebut, mekanisme yang ditempuh adalah melalui pengajuan hak atas tanah terhadap tanah negara obyek land reform. Prosedur ini sebenarnya kurang tepat, mengingat bahwa konversi hak selayaknya menegaskan adanya pengakuan negara atas hak tanah yang lama dan menyesuaikannya dengan ketentuan jenis dan karakteristik hak tanah yang ada dalam hukum nasional. Bukan dengan memohon hak tanah yang menimbulkan kesan bahwa secara historis tanah yang dimohon tersebut merupakan tanah negara. Hal ini seolah-olah merancukan asal usul dan sumber hak tanah yang ada. Problematika konversi hak pekulen bergilir ini muncul akibat ketidakjelasan subyek tanah asalnya. Secara historis, diketahui bahwa tanah pekulen bergilir ini umumnya berada dalam penguasaan dan pemilikan desa dalam rangka mendorong produkstivitas pertanian dan pengaturan tenaga kerja. Konversi hak pekulen bergilir menjadi hak pakai memunculkan pertanyaan baru, yaitu hak pakai di atas tanah apa? UUPA secara detail tidak menyebutkan sumber tanah yang dilekatinya, namun dalam peraturan pelaksanaannya hak yang ada diterbitkan di atas tanah negara. Padahal kenyataannya, secara de jure dan de facto tanah tersebut berada dalam pemilikan dan penguasaan desa yang kemudian mendelegasikan hak penguasaan dan pemanfaatannya kepada petani penggarap. Hal ini menjadi sulit diterjemahkan mengingat belum diakuinya lembaga desa sebagai subyek hak serta terbatasnya pengaturan tentang tanah komunal/ tanah tentang tanah komunal dalam pengaturan hukum secara eksplisit dapat ditemui dalam Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang berada dalam Kawasan Tertentu yang diganti dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu. Rumusan aturan yang ada memberikan batasan tentang hak komunal dengan kriteria pertama, hanya dimiliki oleh masyarakat adat, kedua seolah-olah merupakan hak atas tanah karena dilengkapi dengan alat bukti berupa sertikat sementara UUPA tidak mengatur hak komunal sebagai suatu hak atas tanah, ketiga pengaturan tentang hak komunal hanya terbatas pada wilayah kawasan tertentu yaitu hutan dan perkebunan. Ketentuan ini juga telah menghapus keberadaan hak ulayat yang diatur dalam Pasal 5 UUPA. Maria SW Sumardjono menekankan bahwa hak komunal tidak dapat dipersamakan dengan hak ulayat karena adanya perbedaan karakteristik dimensi publik yang tidak dimiliki hak Padahal pada kenyataannya dalam masyarakat masih banyak ditemui hak komunal/ milik bersama yang belum diakomodir ketentuan dan kemungkinan pengaturan yang lebih komprehensif sangat terbuka. Hal ini dibuktikan dengan fenomena yang terjadi di Sidoarjo. Meskipun tanah gogol gilir telah dapat disertipikatkan dengan sertipikat hak milik karena dianggap alas hak yang ada adalah gogol tetap, namun dalam praktek penguasaan dan penggunaannya masih tetap dilakukan secara bergilir oleh masyarakat. Kondisi lain ditunjukkan di Ngandagan Purworejo yang menghasilkan kebijakan “landreform lokal” melalui pengambilan sebagain tanah pekulen tetap untuk dijadikan tanah komunal desa dengan penguasaan secara bergilir bagi sumber daya pada tingkat lokal memberikan banyak kemungkinan kemanfaatan sekaligus ketepatan pada aras hulu. Perkembangan pengaturan tentang otonomi desa sebagai satuan pemerintahan terkecil diperkuat dengan lahirnya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini tidak semata-mata menempatkan desa dalam kerangka otonomi daerah dan ketatanegaraan Indonesia saja. 40 Maria SW Sumardjono, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah “, Harian Kompas, 6 Juli 2015. 479Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaUU ini diharapkan mampu menjadi pintu masuk bagi pembangunan dan penguatan perekonomian rakyat. Pada tingkat tertentu, dengan bekal UU Desa yang telah ada, desa memiliki otoritas melakukan reforma agraria skala lokal dan penguasaan lahan bagi kemaslahatan Hal ini sesuai dengan logika bahwa desa merupakan sumber penghidupan sebagai tempat tinggal bagi sebagaian besar masyarakat dan sekaligus menjadi tempat beragam faktor produksi modal seperti sumber daya khususnya tanah dan tenaga kerja. Modal yang dimiliki tersebut membutuhkan saluran dan sistem yang baik dengan tetap mempertahankan kearifan lokal yang ada sehingga mampu memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat desa khususnya dan negara umumnya. Yurisprudensi putusan Mahkamah Agung tanggal 18-10-1958 No. 301 K/Sip/1958 menyebut kan adanya hak penguasaan desa doors-beschikkingsrecht tentang putusan desa perihal penunjukan tanah pekulen. Hal ini menunjukkan adanya kewenangan dan legitimasi yang dimiliki oleh desa untuk menjalankan otonominya dalam mengatur sumberdaya tanahnya. Myrna Savitri menawarkan opsi bagi bentuk hak komunalSatu, tanah komunal itu membentuk sistem kepemilikan berlapis dimana kepemilikan individual/keluarga/kelompok kecil dimung-kinkan ada di dalamnya. Dua, ketika ber-hadapan dengan pihak ketiga, maka tanah komunal itu dilihat sebagai kesatuan properti yang utuh dari anggota komunitas. Properti ini punya sifat khusus yang tidak bisa dialihkan kepada pihak luar secara permanen termasuk penggunaannya sebagai agunan akad kredit yang beresiko beralih kepada pihak luar. Tiga, sebagai hak properti yang utuh maka tanah-tanah komunal tidak dapat disamakan dengan tanah publik/tanah negara melainkan tanah rakyat yang dikuasai dengan hak yang jelas yang diakui dan dilindungi oleh negara. Empat, untuk mendukung perlindungan terhadap tanah komunal maka komunitas lokal perlu diperlakukan sebagai subyek hukum sama halnya dengan perorangan atau badan hal tersebut, berikut skema hak atas tanah yang dapat dipergunakan41 Ahmad Erani Yustika, “Desa, Tanah, dan Pasar”, Harian Kompas, 18 Februari 2016. 42 Myrna Satri, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, STPN Press dan Sajogyo Institute, Yogyakarta, hlm. Myrna Satri, 3. Skema Pengaturan Hak Tanah Bagi Tanah PekulenNo. Jenis Hak Keterangan1. Hak Bersama Sertipikat/ kepemilikan atas bidang tanah oleh beberapa orang. Namun kewenangan desa menjadi hilang karena tanah dapat dengan mudah dialihkan kepada orang di luar desa dengan kesepakatan para pemilik Hak Pakai Penggarap terakhir dapat diberikan hak pakai untuk jangka waktu tertentu dan selanjutnya tanah dapat digilirkan dengan hak pakai kepada pihak lain. Namun status utama atas tanah ini apa? Sedangkan desa belum merupakan subjek Hak Pengelolaan Bersifat publik, dimana tanah adalah tanah negara dan dapat ditarik kembali. Dimungkinkan dalam konteks HPL komunitas berlaku atas tanah komunitas sebagai bentuk pengakuan eksistensinya. Kewenangan desa dalam mengatur peruntukan dan penggunaan tanah dan sumber daya termasuk memberikan hak-hak pemanfaatan tanah kepada anggota komunitas dapat dilaksanakan dan memberi kepastian Myrna Satri,43 PenutupTanah pekulen merupakan bentuk hak atas tanah yang yang bersumber dari hukum adat. Hukum agraria nasional yang direpresentasikan melalui ketentuan UUPA telah diproyeksikan untuk menghapuskan adanya dualisme hukum agraria yang ada di Indonesia. Namun, ketentuan konversi yang ditetapkan oleh pemerintah ternyata 480 MIMBAR HUKUM Volume 28, Nomor 3, Oktober 2016, Halaman 466-481belum mampu sepenuhnya mengakomodasi hak tanah pekulen khususnya yang bersifat bergilir serta memiliki karakteristik komunal. Berdasarkan ketentuan UUPA hak pekulen tetap akan dikonversi menjadi hak milik sedangkan hak pekulen bergilir menjadi hak pakai. Secara historis, losos, dan sosiologis, ketentuan yuridis ini tepat untuk hak pekulen tetap namun membutuhkan kajian lebih lanjut terkait hak pekulen bergilir. Struktur agraria hak pekulen bergilir dapat dilihat dalam karakter, yaitu pemilikannya bersifat bersama dari seluruh warga desa, serta penguasaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan secara perseorangan oleh warga desa atas keputusan desa. Pengaturan tanah pekulen dalam struktur hukum agraria Indonesia dapat dilihat dalam asas serta norma dan kaidah hukum UUPA. Hak pekulen memiliki karakter komunalistik religius serta dekat dengan fungsi sosial atas tanah yang diamanatkan UUPA. Kaidah dan norma yang mengaturnya secara tegas termuat dalam ketentuan konversi UUPA yang menempatkannya sebagai salah satu hak atas tanah meskipun belum sepenuhnya tepat mengakomodir. Selayaknya pengaturan tentang konversi hak pekulen bergilir ini mengakomodir nilai-nilai dalam masyarakat sebagai lingkungan hidupnya. Watak komunal yang dimiliki hak pekulen bergilir belum mampu diwadahi dalam konsep hak komunal negara yang membatasi diri pada masyarakat adat, serta hanya ada di wilayah hutan dan perkebunan. Hak pekulen bergilir patut dimasukkan dalam kategori hak komunal dalam lingkungan desa yang kental dengan solidaritas/ kebersamaan, nilai budaya/ tradisi, serta legitimasi kewenangannya dalam kerangka otonomi PUSTAKAA. BukuAass, Svein, 2008, Relevansi Teori Makro Chayanov dalam Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa, Yayasan Obor Indonesia, M., et al., 2008, Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Pada Abad XIX dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, Devy Dhian, 2014, Konik Agraria Di Urutsewu, Pendekatan Ekologi Politik, STPN Press, Noer, 2008, “Dari Okupasi Tanah Menuju Pembaruan Agraria Konteks Dan Konsekuensi Dari Serikat Petani Pasundan SPP Di Garut Jawa Barat” Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa”, Yayasan Obor Indonesia, C., 1963, Agricultural Involution The Process Of Ecological Change In Indonesia, University Of California Press, Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Hiroyoshi, 2008, Sistem Pemilikan Tanah Dan Masyarakat Desa Di Jawa Pada Abad XIX Dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Ahmad Nashih, et al., 2013, Kondisi Dan Perubahan Agraria Desa Ngandagan Di Jawa Tengah Dulu Dan Sekarang, STPN Press, Myrna, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007 Bunga Rampai Perdebatan, STPN Press dan Sajogyo Institute, Nur Aini, 2011, Dari Tanah Sultan 481Puri dan Sulastriyono, Tanah Pekulen dalam Struktur Hukum Agraria di JawaMenuju Tanah Rakyat Pola Pemilikan, Penguasaan, Dan Sengketa Tanah Di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi 1917, STPN Press dan Sains, Moh. dan Luth, Ahmad Nashih, 2010, Land Reform Lokal Ala Ngandagan, Inovasi Sistem Tenurial Adat di Sebuah Desa Jawa, 1947-1964, STPN Press dan SAINS, BF., 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke-4, Alumni, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Cornelis Van, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Kurnia, 2006, Ganggam Bauntuak Menjadi Hak Milik, Penyimpangan Konversi Hak Tanah di Sumatera Barat, Andalas University Press, Esmi, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Suryandaru Utama, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam “Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa,” Yayasan Obor Indonesia, Artikel KoranSumardjono, Maria SW, “Ihwal Hak Komunal Atas Tanah “, Harian Kompas, 6 Juli Ahmad Erani, “Desa, Tanah, dan Pasar”, Harian Kompas, 18 Februari 2016. ... Pure customary land law has a communalistic concept which embodies cooperation and family spirit Puri & Sulastriyono, 2016 and is filled with a religious atmosphere as is the nature of indigenous peoples themselves. This customary land law is then called customary Rights. ...... Generally, the coverage area is unmeasured in a certain way. For example in the Dayak tribe, there are various ways to determine the size of their territories such as using the sound of gongs and how far it is heard or by the boundaries of particular trees that have been planted by them Puri & Sulastriyono, 2016. ...Introduction to The Problem The rapid flow of globalization has brought indigenous peoples to prolonged horizontal and vertical conflicts. The majority of conflicts triggered by who has the right to own the land and functionalize it. The land that belongs to indigenous peoples and it inherited from generation to generation, suddenly taken by investors and it even supported by the government. The indigenous people are often victimized and forced out from their customary lands. They who try to claim the rights sometimes experience obstacles because of the stronger and dominant government position in the court. One of these conflicts occurred in the Dayak community in Central Borneo Study This study aims to determine the problems experienced by indigenous peoples in Central Borneo Province, as well as to find out the mechanism for establishing a legal protection system in order to provide recognition and strengthening ownership of customary land in the Central Borneo This study uses normative research methods, with statute approaches and conceptual there are serious problems experienced by indigenous people in Central Borneo Province, related to customary land in their territory. However, there are legal safeguards that can be carried out through formal and administrative land recognition.... The term kuli in the region of Bagelen Purworejo is the same as Gogol or sikepie the party who is given authority over the communal land Cahyati, 2014. Pekulen land is a type of customary land that has communal character inherent in village authority Puri & Sulastriyono, 2016. According to Onghokham, the term sikep farmer in the sense that villagers with the right to land have disappeared from the village environment and replaced the word coolie from the word coolie, namely the term British India which means workers without skills Onghokham, 2008. ...Widhiana Hestining PuriPurpose The purpose of this study is to describe the tradition of communalization of pekulen land and the distribution of its use. Methodology This research conducted with empirical legal research those locations in Pituruh Subdistrict, Purworejo Regency, Central Java with the socio-legal approach. Results This research found that the communal mechanism for pekulen land was first developed by the Dutch colonial government by utilizing local customary law to guarantee the availability of labor and agricultural land for land taxes and cultuurstelsel. This model now transformed and has many benefits such distribute the right of land use, protecting the rights of landholders, guaranteeing the protection of land functions, maintaining the integrity of village communities, and so on. The implementation of communalization of pekulen land and distribution of its use is a mechanism of local wisdom that grows and develops by transforming the values of customary law in land regulation. Implications This paper provides a new way of understanding the practice of communalization of land that initiated by the citizens. Pekulen land is a form of land rights originating from customary law which is owned by the village community who are given the right of use to members of the village community to be used for their personal interests. Thus, Land communalization is an alternative policy model that is applied to regulate land ownership in a more organized manner with a strong collectivity bond in a Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah IndonesiaB F SihombingSihombing, BF., 2005, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Toko Gunung Agung, Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke4SubektiSubekti, 1990, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Cetakan ke4, Alumni, Indonesia dan TanahnyaCornelis VollenhovenVanVollenhoven, Cornelis Van, 2013, Orang Indonesia dan Tanahnya, STPN Press, Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan TanahGunawan WiradiWiradi, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa," Yayasan Obor Indonesia, Hak Komunal Atas TanahB SumardjonoSw MariaB. Artikel Koran Sumardjono, Maria SW, "Ihwal Hak Komunal Atas Tanah ", Harian Kompas, 6 Juli YustikaEranidesaDan TanahPasarYustika, Ahmad Erani, "Desa, Tanah, dan Pasar", Harian Kompas, 18 Februari dan Bekel, Tiara WacanaSuhartonoSuhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Tiara Wacana, Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke MasaGunawan WiradiWiradi, Gunawan, 2008, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria dalam "Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian Di Jawa Dari Masa Ke Masa," Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. B. Artikel Koran Sumardjono, Maria SW, "Ihwal Hak Komunal Atas Tanah ", Harian Kompas, 6 Juli Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma AgrariaMyrna SafitriSafitri, Myrna, 2012, Mempertanyakan Posisi Sistem Tenurial Lokal Dalam Pembaruan Agraria Di Indonesia Dalam Pembentukan Kebijakan Reforma Agraria 2006-2007
Bentukbentuk pemilikan tanah pertanian di Jawa antara lain: sawah, yang merupakan klasifikasi tanah terpenting bagi para petani Jawa untuk mem- pertahankan hidupnya. Menurut Geertz, sawah tani di Jawa adalah hasil proses historis dari perkembangan kebudayaan, merupakan bagian terpenting dari ling- kungannya.
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah. Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan, yaitu a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional Adat di Jawa Bagian Tengah Landasan pikir awal untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham 19845 yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 23 penguasaannya ada beberapa jenis tanah pada masa tradisional ini yakni tanah narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage Wasino, 20051-2. Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi di daerah Kedu Barat, Bumija di daerah Kedu Timur, Numbak Anyar di daerah Bagelen timur, Penumping daerah sebelah barat Surakarta, serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang Wasino, 200518. Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag Wasino, 200529; Suhartono, 199129. Bumi pamajegan merupakan tanah-tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 24 ganduhan atau peminjaman tanah, sebagai tanah lungguh. Dari hasil bumi tanah tersebut para pejabat dapat membiayai keperluan hidupnya. Hasil dari tanah sebagian diberikan kepada kas kerajaan Pesponegoro dan Notosusanto [ 1984 20. Jumlah tanah yang diberikan berbeda-beda. Dalam Serat Pustaka Raja Purwara misalnya disebutkan bahwa ibu raja dan istri raja masing-masing mendapat tanah lungguh 1000 karya, Adipati Anom seluas 8000 karya, Wedana Lebet mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya16. Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional. b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870 16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage adalah jung kira-kira m2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 25 terjadilah perubahan-perubahan pola penguasaan tanah. Penguasaan tanah oleh raja mulai begeser menjadi penguasaan tanah atas nama pemerintah kolonial dan penguasaan pribadi. Awal mula tejadinya perubahan pola penguasaan tanah adalah ketika VOC mulai bekembang di Jawa. Wilayah Mataram secara perlahan mengalami pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC17. Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak dan Pesisir Timur Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura. Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat. Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai perubahan-perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa 17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 26 wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia 1811-1816 di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent Sistem Sistem Sewa Tanah dengan dengan 3 tiga azas pengelolaan tanah18. Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC Wasino, 2005 5. Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat Wasino, 20056. Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan 18 3 tiga azas sistem sewa tanah Raffles, yakni 1 segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan jenis tanaman, 2 peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, 3 pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Ong Hok Ham, 19843. Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara Suhartono, 199175. Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa cultuurstelsel oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil dikuasainya. Sistem ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara Wasino, 20056. Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad Lembaran Negara Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang Agraria pada tahun 1870. Undang-undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 28 umumnya masih bersifat komunal, dalam Undang-undang ini mengatur kearah indivindualistis. Diantaranya 1.Memberi kesempatan kepada penyewaan jangka panjang tanah-tanah untuk perkebunan. 2.Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah hak eigendom termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing. 3.Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. 4.Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu 1912-1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan. 5.Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh pinjam sementara telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe milik secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah-tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern 6.Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 29 hak kepemilikan dengan syarat tertentu, misalnya memperoleh hasil hutan dengan izin kepala desa dan Asisten Residen. Suhartono, 1991 96-101. c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII19, menyatakan bahwa Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia20. Untuk 19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan tersebut disahkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta. 20 Amanat Sri Paduka Ingkang Sinumuwun Kanjeng Sultan Kami, Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan 1 Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2 Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3 Bahwa hubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintah Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Kami bertanggung jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini. Ngajogjokarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1877 5 September 1945 HAMENGKUBUWONO Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 30 mengatur urusan pertanahan sejak tahun 1946, dikeluarkan berbagai Maklumat dan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengatur hak-hak atas tanah dan segala sesuatu yang berhubungan dengan status tanah, antara lain Maklumat Nomor 13 tahun 1946 tentang tanah negeri dan berdasarkan pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1950, Daerah Istimewa Yogyakarta mendapat kewenangan untuk mengurus beberapa hal dalam rumah tangganya sendiri, salah satu diantara urusan yang menjadi kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah bidang keagrariaan/pertanahan Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 secara nasional pada tanggal 24 September 1960. Kewenangan keagrariaan seharusnya berada pada pemerintah pusat namun, pada pelaksanaannya dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah ataupun kepada persekutuan masyarakat hukum adat, tetapi dalam pelaksanaan penghapusan tanah-tanah swapraja sebagaimana diatur dalam Diktum Keempat A UUPA yang menyatakan bahwa hak dan wewenang atas bumi dan air, swapraja dan bekas swapraja beralih pada negara sejak berlakunya UUPA, dan dalam Diktum Keempat B akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut tidak segera diwujudkan. Untuk menjaga agar tidak terjadi kekosongan hukum Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 31 ketentuan berdasarkan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 dan Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 10 Tahun 1954. Dalam penjelasan umum, Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 5 Tahun 1954 angka 4 mengenai pokok pikiran juncto penjelasan pasal 11 dinyatakan bahwa, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam mengatur masalah pertanahan harus berdasarkan prinsip atau asas domein sebagaimana ditentukan dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 dan Rijksblaad Pakualaman Tahun 1919 Nomor 18, di mana semua tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain adalah milik/domain kerajaan/Kraton Yogyakarta. Penguasaan tanah oleh Sultan Yogyakarta didapat sebagai pelaksanaan kesepakatan dari perjanjian yang diadakan di Desa Giyanti sehingga dikenal dengan nama Perjanjian Giyanti pada tahun 13 Februari 1755. Setelah adanya perjanjian Giyanti, maka Sultan Hamengku Buwono mempunyai hak milik domein atas tanah di wilayah barat Kerajaan Mataram dan hal ini tetap harus hidup dalam kesadaran hukum masyarakat KPH. Notojudo, 1975 4-5, sehingga di seluruh wilayah Kasultanan Yogyakarta dengan tegas diberlakukan asas domein. Asas ini merupakan pernyataan sepihak dari Sultan. Seperti yang termuat dalam pasal 1 Rijksblaad Kasultanan Tahun 1918 Nomor 16 Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarben ing liyan, mawa wenang eigendom, dadi bumi kagungane Kraton Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 32 Ingsun Ngayogyakarta. atau Semua tanah yang tidak ada tanda kepemilikan orang lain maupun wewenang eigendom, adalah milik Sultan Hak eigendom dan hak opstal yang bisa dimiliki oleh rakyat adalah berpangkal pada pasal 570 BW, peraturan tersebut merupakan ketentuan yang dikeluarkan pihak pemerintah Hindia Belanda. Hal ini bisa diberlakukan di wilayah Kasultanan Yogyakarta karena adanya ikatan kontrak politik yang berlangsung hingga tahun 1940. Selanjutnya setelah seluruh tanah selain yang dilekati dengan hak eigendom dinyatakan milik kraton, diantaranya diserahkan kepada 1.Konsekuensi dari diberlakukannya asas domein tersebut maka rakyat yang tidak mempunyai hak eigendom, untuk masyarakat kota[raja penguasaan tanahnya adalah dengan hak anggaduh yaitu penguasaan dengan kewajiban menyerahkan separo atau sepertiganya hasil tanahnya jika merupakan tanah pertanian dan apabila berupa tanah pekarangan, maka mereka dibebani kerja tanpa upah untuk kepentingan Raja Boedi Harsono, 1968 56 . Untuk selanjutnya berdasarkan RB Kasultanan Yogyakarta 1925 Nomor 23 dan RB Kadipaten Pakulaman 1925 Nomor 25, warga masyarakat di Kotapraja diberikan hak andarbe . sedangkan warga masyarakat di pedesaan luar kotapraja diberikan hak anganggo turun temurun. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 33 2.Untuk desa atau kalurahan yang sudah ada dan dibentuk diberikan dengan hak andarbe atau tanah hak milik desa21, dengan pengaturannya sebagai berikut a Hasil dari penggunaan dan pemanfaaan tanahnya untuk pembiayaan administrasi desa/kalurahan dengan status Tanah Kas Desa. b Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya yang dipergunakan untuk penmghasilan perangkat desa pamong dengan status Tanah Bengkok/Lungguh c Hasil penggunaan dan pemanfaatan tanahnya untuk mantan perangkat desa pamong dengan status Tanah Pengarem-arem, dan d Tanah desa lainnya untuk kepentingan umum seperti jalan, lapangan, pengembalaan, makam, dsb. e Tanah domein bebas yang penggunaan dan pemanfaatannya berupa hutan belukar, terlantar, dan tanah yang tidak dapat dimanfaatkan. Permasalahannya sampai saat ini dari pengukuran kadastral dan pelacakan yang dilaksanakan sejak 1993 hingga 2000 Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan melibatkan Badan Pertanahan Nasional serta perangkat desa, 21 Untuk penduduk Kotapraja Yogyakarta Dapat Diberikan Hak Milik Atas Tanah, sedangkan untuk luar kotapraja yang dapat memiliki Hak Milik Atas Tanah adalah Kalurahan sekaranag desa atau Dorps Beschikkingrecht. Untuk penduduk hanya dapat diberikan Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk Individueel Gebriksrecht. Selo Sumardjan, 1986, Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial di Yogyakarta , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 34 baru dapat mendata hektar tanah-tanah Sultanaat Ground SG atau Siti Kagungandalem dan Pakualaman Ground PAG22. Untuk memberi solusi dalam pendaftaran tanah telah dikeluarkan Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 21 Oktober 2003 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakart, diantarnya berisi tentang persyaratan permohonan hak atas tanah di atas Sultan Ground ataupun Pakualaman Ground, dapat didaftarkan dengan hak atas tanah sesuai dengan UUPA di atas tanah Sultan Ground/Pakualaman Ground. 22 Surat Kakanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Bapak Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 13 Februari 1999, perihal Penertiban tanah-tanah Swapraja di Provinsi Daerah Istimewa Yogykarta. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 35 Refleksi Sejarah dan Politik Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta Secara tradisional Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Kasultanan Mataram adalah pemilik atas tanah yang ada di dalam daerah kekuasaan atau wewengkon-nya Uraian pada bagian ini berdasarkan pada Soemarsaid Moertono, 1963; Soeripto, 1929; Rouffaer, 1931 kecuali apabila disebut secara khusus. Dalam Adatsrechtbundel Jilid XXXIV, menyebutkan bahwa wilayah Kasultanan Mataram lama dapat dibedakan menjadi tiga bagian23 yaitu a. Negara, ibukota kota istana yang menjadi pusat segala kehidupan yang mencakup masalah politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. b. Nagara-gung yang secara harafiah berarti kota besar. c. Mancanegara, yaitu daerah di luar Nagara. Dalam perkembangannya, setelah terjadi penyerangan masyarakat Cina yang disebut Geger Pacinan dengan penyerangan ibu kota Kasultanan Mataram di Kartosuro pada tahun 1742 dan mangkatnya Sri Sunan Paku Buwono II pada tahun 1749, diangkatnya Pangeran Adipati Anom sebagai Sri Sunan Paku Buwono III. Dalam kondisi peperangan melawan kumpeni. Dikarenakan keleLahan dalam peperangan, maka diadakan 23 Suyitno, Tanah Kasultanan Yogyakarta SG dan Pakualaman PAG. Tinjauan Historis-Yuridis. Tidak dipublikasikan. Dipresentasikan di Balai Senat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Februari 2009. Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta 36 perundingan antara Gubernur dengan Pangeran Mangkubumi di Gianti pada tanggal 13 Februari 175524. Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan tanah, Sultan mengatur penggunaan tanah berdasarkan Pranatan Patuh 1863 atau kepatuhan/ kebekelan yang menggunakan sistem apanage. Adapaun pengaturan penggunaan tanah tersebut sebagai berikut 1. Tanah Keprabon Crown Domain Keparabon Dalem atau Tanah mahkota adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan pembangunan istana, alaun-alaun, masjid, taman sari, pesanggrahan atu bangunan pendukung lainnya; Keprabon ini merupakan serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta. Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, istana keraton dan lain sebagainya.
Secaragaris besar sistem tanam paksa ini telah menimbukan berbagai akibat pada kehidupan masyarakat pedesaan di Pulau Jawa, yaitu menyangkut tanah dan tenaga kerja. Sistem tanam paksa telah mencampuri sistem pemilikan tanah di pedesaan, karena para petani diharuskan untuk menyerahkan tanahnya untuk penanaman tanaman ekspor. Perubahan ini telah
Karenaitu, penelitian sejarah sosial dan politik kolonial di Jawa terkait persoalan tanah sangat diperlukan sebab pemerintah kolonial Belanda turut mewariskan pola, struktur, dan kelembagaan tetap berlaku pada sistem pemerintahan negara sampai sekarang ini.1 1A.A. Gde Putra Agung, Peralihan Sistem Birokrasi dari Tradisional ke Kolonial
sistem pemilikan tanah di pulau jawa
kanstruktur penguasaan tanah yang kondusif untuk membangun sistem usaha pertanian tangguh. Secara teoritis, lahirnya Tap tersebut persen penduduk tinggal di Pulau Jawa yang Iuasnya hanya 6,9 persen dari luas daratan Indonesia. Pada tahun 2000 kepadatan pen- rapan Menurut Kelompok Pemilikan Sawah di Daerah Pesawahan DAS Brantas, 1999/
DiPulau Jawa tanah pertanian yang beralih fungsi untuk permukiman dan industri seluas 81.176 hektar terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 hektar. Alih fungsi tanah pertanian yang terluas terjadi di Propinsi Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89%).
Зин ፋሙաмиνωλሎж տετዎሣոհПсаσыπоπαկ езваցоηаሺα
Аπа ኂМաсጠ аጳоճ жኔсащυ
Ուլիдሡфу бешаΥбሪфе а
Βебуձ ዞըቶιպ ኜοጊиглօщИ դሰዷխκιጩ
Еծуլθզе бሎкруշኢሡδեψω зи կуйεβачей
.

sistem pemilikan tanah di pulau jawa